Keberanian (bagian III)

Eagle flies alone. Inilah kalimat yang sering kali ditulis almarhum guru besar politik UGM di akhir setiap tulisannya. Agaknya dia terinspirasi dari kurenah elang yang selalu terbang sendirian. Kendati begitu, elang tetap semangat. Tetap kuat. Setiap berencana menangkap mangsanya, ia tak pernah gagal. Kalau terbang melayang dari angkas dan menukik ke bawah ingin menangkap tikus misalnya, ia terlihat indah dan elegan. Begitulah profil elang. Maka kita segera paham, dengan menulis kalimat di atas, almarhum ingin menunjukkan, dia berani menghadapi dunia sendirian. Dia tidak tergantung pada kelompok. Dia tetap eksis menempuh kehidupan profesionalnya. Dia menegakkan harga dirinya sendirian. Pada titik inilah kita menyebutnya berani. Apakah dia tidak butuh pertolongan? Tentu saja butuh! Bukankah dia manusia juga? Namun, dia tidak pernah minta pertolongan kepada manusia. Dia hanya minta pertolongan kepadapada Allah. Dia mematuhi firman Allah: Hanya kepada Allah kami menyembah dan kepada Allah pula kami minta pertolongan(QS. Al Fatihah: 5) (habis).

(12/12/2022)

Keberanian (bagian II)

Keberanian itu kualitas individu. Ia lahir berkat mengamalkan prinsip kebenaran. Kebenaran yang mana? Bukan kebenaran versi polisi. Bukan pula kebenaran kelompok. Namun, kebenaran universal. Kebenaran absolut yang berhasil dicapai manusia bertolak dari potensi dirinya. Maka orang berani tak bisa disuap. Tahan bujuk rayu. Kebal provokasi. Ia mengamalkan perintah Allah: Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) kepada orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Hud: 112). Namun, ada lho ada orang yang mengetahui kebenaran absolut itu. Anehnya, dia diam saja. Tidak berani membelanya. Tidak berani menegakkannya. Orang model begini sebenarnya pengkhianat kebenaran. Tidak mau ambil risiko. Dia pengecut. Maka pilihannya ada pada kita kini: menjadi pemberani atau pengecut? Apa pun pilihannya,  sah. Namun, yang memilih pengecut akan merendahkan martabat diri. Siapkah kita memiliki martabat diri yang rendah? Kalau belum, berani lah (bersambung).

(11/12/2022)

Keberanian (bagian I)

Berani itu baik. Ia membuang jauh-jauh perasaan inferior. Namun, ia tidak bisa dibeli. Tidak bisa pula diwariskan. Lalu, bagaimana cara memperolehnya? Kalau manusia ingin punya keberanian, paling tidak dia harus punya dua sikap. Pertama, yakin dirinya berharga. Kedua, menerima dirinya apa adanya. Kedua sikap ini akan menjadikan manusia berani menghadapi berbagai tantangan hidup, termasuk melakukan otokritik. Satu tantangan hidup manusia adalah memerintahkan yang baik dan mencegah yang buruk. Istilah kerennya: amar makruf dan nahi munkar. Tentang ini, Rasulullan saw bersabda: Jihad yang paling utama adalah berkata yang hak di hadapan pemimpin yang zalim. (HR. Ibnu Majah, Ahmad, Thabrani, dan Baihaqi).  Maka secara teoritis orang yang bisa melakukan ini adalah mereka yang merasa dirinya berharga. Permasalahannya, kapan manusia merasa dirinya berharga? Konon ketika mereka merasa berguna buat orang lain. Kalau sudah begini, mereka yakin bisa berkontribusi terhadap orang lain. Ternyata keberanian terkait dengan keinginan untuk berkontribusi terhadap orang lain (bersambung).

(10/12/2022)

Kebahagiaan(bagian III)

Memperoleh kebahagiaan butuh keterampilan. Ia bisa diperoleh lewat latihan. Lalu siapa yang memeriksa latihan itu? Suara batin. Ketika batin menjerit, sebenarnya itu sinyal, latihan tersebut gagal. Kalau batin ok, latihannya sukses. Kesuksesan ini mengantarkan pelakunya pada mahir. Kalau sudah mahir, kebahagiaan mudah menjelma. Maka manusia harus mengakrabi dunia batinnya. Mereka harus sering-sering mendengarkan suara batinnya. Sedikitnya terdapat dua hal yang menyenangkan batin. Yakni: bertindak secara proporsional dan lapang dada. Keduanya otomatis bisa menjadi alat untuk mencapai kebahagiaan. Namun, Allah berfirman, Siapa-siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, maka Dia melapangkan dadanya. Dan siapa-siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, maka Allah menjadikan dadanya sesak dan sempit (QS. Al An’am: 25). Ini menunjukkan, lapang dada lahir berkat pertolongan Allah. Pertolongan itu konon datang karena manusia memperbaiki tauhidnya, memperbaiki amal salehnya, serta ridha dengan qada. Maka marilah kita mendekatkan diri kepada Allah tanpa ada atau tidaknya musibah (habis).

(09/12/2022)

Kebahagiaan (bagian II)

Manusia selalu berusaha untuk memperoleh kebahagiaan. Berbagai upaya mereka lakukan. Namun, hasilnya tidak selalu positif. Tidak jarang mereka malah memperoleh penderitaan. Lalu apa wujud kebahagiaan itu. Kebahagiaan termasuk wilayah batin. Ia  bisa dirasakan siapa saja. Ia tidak selalu berbanding lurus dengan kekayaan. Maka pembangunan infrastruktur dan penguatan ekonomi digital tidak menjamin kebahagiaan masyarakat. Ia perlu diikuti dengan penghayatan tentang spiritualitas. Namun, spiritualitas merupakan akibat, bukan sebab. Ini menegaskan, penyebab spiritualitas yang harus dicari dan diamalkan. Satu yang penting adalah  jiwa yang mandiri. Orang berjiwa mandiri tak akan pernah menggantungkan nasibnya pada orang lain atau sesuatu. Dia hanya bergantung kepada Allah. Soalnya dia tahu persis, semua yang ada di dunia ini kepunyaan Allah. Mengenai ini Allah berfirman: Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di laut dan apa yang ada di bumi (QS. Al Baqarah: 284). Dari sini lahirlah spiritualitas yang mengisyaratkan: manusia lah yang menjadi sumber dan pencipta kebahagiaan (bersambung).

(08/12/2022)

Kebahagiaan (bagian I)

Setidaknya terdapat tiga dimensi tentang kebahagiaan. Yakni dimensi agama, psikologis, dan pengalaman. Dimensi agama Islam menyebutkan, kebahagiaan datang setelah kesulitan berlalu. Allah berfirman: Maka sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (GQ. Al Insyirah: 5). Kebahagiaan tidak datang tanpa kesulitan. Ia melahirkan optimisme. Pada Ayat 7, surah yang sama, Allah melajutkan firmannya: Karena itu, kalau engkau punya waktu, bekerja keraslah. Dimensi psikologis menunjukkan, kebahagiaan hanya dicari dalam diri manusia. Ia tidak berada pada material di luar seperti uang dan kesenangan sensual. Dimensi pengalaman memperlihatkan, sumber kebahagiaan sangat beragam. Ia tidak hanya dimonopoli oleh harta, tahta dan wanita. Lalu mengapa orang mencari kebahagiaan di luar dirinya? Karena mereka yakin  kesenangan bisa mewujudkan kebahagiaan. Kenyataannya tidak. Kesenangan berada  di luar diri manusia. Sedangkan kebahagiaan itu bersumber di dalam kalbu. Wajar kalau manusia yang tidak bahagia dalam hatinya akan selalu merasa gelisah, bingung, galau dan melarikan diri ke praktik-praktik kehidupan yang tidak sehat (bersambung).

(07/12/2022)

Patriot (bagian III)

Warga Indonesia yang pernah tinggal di luar negeri enam bulan atau lebih akan merasa rindu dengan tanah air. Mereka berupaya secepatnya pulang kampung.  Sesampainya di kampung, mereka berusaha  pula mempertahankan hak milik mereka dari godaan pembeli yang tergolong pemodal besar asal luar negeri. Usaha ini tidak mudah. Namun, ia merupakan bibit patriotisme. Ia bisa berkembang menjadi usaha mempertahankan tanah air dari gempuran kekuatan modal asing. Yang terakhir ini perlu diperhatikan secara serius. Contoh kecil, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) makanan. Ia sudah jadi korban pemerasan pemodal besar asal luar negeri. Kalau menggunakan jasa Go Food atau Sophie Food, mereka konon harus membayar fee 3,5-5% dari transaksi dengan konsumen. Istilahnya biaya aplikasi. Maka keinginan mereka untuk berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak sepenuhnya terpuaskan. Padahal mereka juga menjalankan firman Allah: Dia (Allah) telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan meminta kamu untuk memakmurkannya…(QS. Hud: 61). Lalu, siapa yang bisa membela para patriot ini? Bisakah pemerintah? (habis).

(06/12/2022)

Patriot (bagian II)

Manusia tak bisa dipisahkan dari tanah airnya. Tanah dan air adalah sumber kehidupan. Simbol kebahagiaan. Di mana manusia dilahirkan, di situlah tumpah cinta kasihnya. Mereka rela menyerahkan jiwa dan raganya  untuk kepentingan bangsa dan negaranya. Mereka melaksanakan perintah Allah: Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui (QS. At Taubah: 41). Lucunya, mereka tidak pernah menyebut dirinya patriot. Orang lain yang menilainya patriot. Namun, ada kenyataan yang bertolak belakang dengan keadaan itu. Menghadapi persaingan bebas dalam kontestasi politik, banyak kontestan mengklaim sebagai patriot. Demi mengejar impiannya, mereka memanfaatkan peluang untuk dianggap patriot. Mereka tega menjual Indonesia kepada bangsa lain. Mereka juga tak segan-segan membodohi rakyat. Pada titik ini sebenarnya mereka sudah mengkhianati tanah airnya. Mereka sama sekali tidak layak memimpin Indonesia. Kalau ada di antara mereka yang terpilih, itu adalah kecelakaan sejarah (bersambung).

(05/12/2022)

Patriot (bagian I)

Kasih ibu kepada beta/Tak terhingga sepanjang masa/Hanya memberi tak harap kembali/Bagai sang surya menyinari dunia. Demikian satu bait lagu anak-anak  “Kasih Ibu”. Melalui lagu itu kita diyakinkan: ibu hanya memberi dan tidak pernah minta kembali. Nilai itu terpatri dalam hati kita sampai sekarang. Kita pun sangat menghagai dan memuliakan ibu. Ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw: Hendaklah kamu berbuat baik kepada ibumu kemudian ibumu sekali lagi ibumu kemudian bapakmu kemudian orang yang terdekat dan yang terdekat. (HR. Abu Dawud). Nah, sifat ibu ini terkandung dalam kata patriot.  Seorang patriot hanya memberi, tidak pernah minta kembali. Dia memberikan segala-galanya buat tanah airnya. Semua itu terjadi karena dia mencintai  tanah airnya. Dari sinilah kemudian lahir nasionalisme. Nasionalisme itu konon harus dilandasi humanisme. Kalau tidak, lahirlah chauvinisme, memandang rendah bangsa lain. Chauvinisme membuka ekspansi sebuah negara ke negara lain. Sekarang ekspansi itu muncul dalam bentuk hutang. Maka memberi hutang perlu diwaspadai sebagai bentuk chauvinisme (bersambung).

(04/12/2022)

Bepergian (bagian III)

Anak-anak SD berwisata stiap akhir semester. Para remaja kemping di luar kota pada akhir pekan. Orang dewasa berpiknik ke luar negeri pada saat liburan kerja. Semuanya bersenang-senang. Mereka seolah-olah memiliki semboyan: nikmatilah hidup ini. Gambaran semacam ini membuat kita senang. Ternyata manusia Indonesia telah menjadi manusia modern. Namun, perlukah bepergian itu dipamerkan? Masih banyak lho manusia Indonesia yang tidak sempat bepergian.  Mereka bisa nelangsa melihat orang yang sering bepergian. Akibat lanjutannya, lahirlah jurang pemisah antara yang bisa bepergian dengan yang tidak. Maka ganti saja sikap pamer itu  dengan tadabur alam, menikmatinya sembari tafakur tentang kebesaran Allah. Menghayati lingkungan sekitar seraya bersyukur kepada Allah sudah berkesempatan  menyaksikannya. Yang terakhir ini penting, sebagaimana firman Allah: Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim: 7) (habis).

(03/12/2022)