PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR

Segala puji bagi Allah Swt.

Assalamu’alaikum warahmatullahu wabarakatuh,

Yang terhormat,

Ketua, Sekretaris, dan Anggota Majelis Wali Amanah;

Rektor, Wakil Rektor, dan seluruh jajarannya;

Ketua, Sekretaris, dan Anggota Senat Akademik;

Ketua, Sekretaris, dan Anggota Dewan Guru Besar;

Para Pimpinan Fakultas, Pusat Studi, dan Lembaga di lingkungan UGM;

Segenap Civitas Akademika Universitas Gadjah Mada;

Para hadirin, tamu undangan, dan kerabat terkasih.

Pendahuluan

Perkenankan saya memulai pidato ini dengan mengucapkan rasa syukur ke hadirat Allah Swt. Berkat karunia, izin, dan pertolongan-Nya, kita semua bisa hadir, baik secara tatap muka di Balai Senat Universitas Gadjah Mada ini maupun hadir dalam ruang virtual melalui gawai masing-masing. Mengingat pidato ini dilakukan dalam rangka kontribusi pada keilmuan, saya coba sampaikan alasan pemilihan tema.    

Seorang laki-laki tua berpakaian serba putih mendatangiku. Wajahnya tidak kelihatan dengan jelas. Tetapi, suaranya sangat tegas dan berwibawa. Dia berkata padaku, dalam pandangannya aku sudah menjadi profesor. Karena itu, dia berpendapat bahwa aku tidak perlu secara resmi menjadi profesor. “Kalau kamu tidak mencabut usulan profesor, kamu akan kecewa. Sebab, akan kamu saksikan kelakuan aneh para profesor. Daripada menanggung beban psikologis para profesor yang aneh tersebut, lebih baik kamu tidak usah jadi profesor secara resmi. Kamu malah bebas berkiprah,” tambahnya.

Setelah menyampaikan pesan, laki-laki itu melambaikan tangannya padaku dan segera mengambil sepeda yang tersandar di dinding gubuk. Kemudian menuntunnya menjauhi gubuk. Aku terbangun dan berkata, “Astaghfirullah. Bukankah gubuk itu tempat aku merenung di kebunku di Tawangmangu? Bukankah sepeda itu warisan mendiang ayahku dan sampai sekarang masih ada di Bukittinggi? Kalau begitu, mendiang ayah memberi isyarat agar aku mencabut usulan profesorku” (Abrar, 2004). 

Kutipan di atas terdokumentasi dalam novel saya berjudul Paradoks, yang tertulis dalam bab “Batal Jadi Profesor”. Novel ini bergenre fakta kreatif atau creative nonfiction. Ia pernah dijadikan objek penelitian untuk skripsi Fahmy Hilmy Abdillah di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember, berjudul “Analisis Psikologi Sosial dalam Novel Paradoks Karya Ana Nadhya Abrar”. Dalam ringkasan skripsi itu, Fahmy menulis, antara lain,

Hasil analisis struktural yang terdapat dalam novel Paradoks karya Ana Nadhya Abrar adalah, diketahui bahwa tema mayor adalah perjuangan seorang dosen menjadi dosen dan profesor yang ideal. Tema minor ada tiga, yaitu: (a) belajar menghargai sebuah jabatan dan pekerjaan, (b) kesetiaan suami kepada istri, (c) pekerjaan yang dilakukan sungguh-sungguh akan berbuah baik (Abdillah, 2018).

Namun, tidak sedikit khalayak yang menangkap pesan dari paparan di atas: saya tidak ingin menjadi profesor. Mereka mengira Elwin Fredo, tokoh utama dalam cerita itu, merupakan penjelmaan saya. Mereka bahkan merasa sengit kepada saya. Begitu sengitnya, sehingga ada di antara mereka yang mendoakan agar saya mengalami kecelakaan.

Penulisan pidato pengukuhan guru besar ini merupakan jawaban saya terhadap sinyalemen khalayak itu. Saya sangat senang memperoleh jabatan fungsional guru besar. Melalui pidato ini saya ingin memperluas pembahasan penulisan biografi dengan melihat bagaimana mengintegrasikan jurnalisme ke dalam penulisan biografi. Integrasi ini sangat penting karena bisa mengubah penampilan biografi. Keinginan untuk menemukan jawaban itulah yang mendorong saya menyampaikan pidato pengukuhan berjudul

Menarik Garis Batas Jurnalisme dalam Penulisan Biografi”

Hadirin Rapat Terbuka Dewan Guru Besar yang saya hormati,

Posisi Biografi dalam Sejarah

Sejak reformasi bergulir, beberapa tokoh politik seolah-olah berlomba-lomba menerbitkan biografi. Dari biografi-biografi tersebut, kita jadi mengerti perjalanan hidup tokoh yang dikisahkan. Simaklah biografi Ahmad Arnold Baramuli yang berjudul Baramuli Menggugat Politik Zaman yang terbit tahun 2000. Dalam biografi itu ditulis, Baramuli adalah seorang individu yang tidak bisa disentuh hukum (untouchable) selama era Presiden Sukarno, Soeharto, dan B.J. Habibie (Pour, 2000). Bacalah pula biografi Wiranto yang berjudul Dari Catatan Wiranto Jenderal Purnawirawan Bersaksi di Tengah Badai yang terbit tahun 2006. Dalam biografi ini, ditulis alasan Presiden Abdurrahman Wahid tidak menempatkan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (Azhari, 2006). Simaklah juga biografi Fadel Muhammad yang berjudul Saya Pilih jadi Pengusaha terbitan tahun 2000. Dalam biografi itu, ditulis alasan Mohammad Amien Rais gagal menjadi Presiden RI menggantikan B.J. Habibie (Soeriawidjaja, 2000). Kita pun jadi mengerti tentang informasi rahasia yang selama ini tidak pernah diperoleh melalui media pers.

Namun, sejak kapan sebenarnya biografi muncul ke hadapan khalayak? Menurut Sartono Kartodirdjo, biografi sudah mulai ada sejak zaman Romawi. Simaklah penjelasannya selanjutnya

Sejak zaman Romawi sudah muncul biografi, antara lain yang ditulis oleh Tacitus mengenai kaisar-kaisar Romawi.

Tradisi penulisan biografi selanjutnya sangat penting dalam penulisan sejarah. Tradisi penulisan biografi memperkuat gambaran betapa besarnya peranan tokoh politik dalam sejarah, bahkan sering menjurus kepada pendapat seolah-olah sejarah dibuat oleh tokoh atau orang besar dalam sejarah (Kartodirdjo, 1993).

Kutipan ini menunjukkan, penulisan biografi sangat penting dalam sejarah. Masalahnya lantas, seberapa penting? Menurut Taufik Abdullah, biografi bisa membantu memahami dinamika sejarah. Katanya:

Siapa pun yang membaca biografi yang baik dari Sun Yat Sen, Mao Tse Tung, dan Chiang Kai Sek, meskipun mungkin tidak akan mengetahui segala segi dari sejarah modern Cina, ia akan lebih memahami dinamika sejarah (Abdullah, 1998).

Kutipan ini memperlihatkan sejarah bisa dipahami melalui tokoh yang dikisahkan.

Memang biografi tidak secara khusus mengisahkan sejarah. Tidak jarang biografi hanya dimaksudkan untuk mengenang tokoh yang dikisahkan. Namun, dengan mengisahkan sejarah sang tokoh, kita secara tidak langsung bisa mengetahui sejarah yang terkait dengan sejarah tokoh itu. Kita bisa pula menganalisis tempat dan waktu yang menjadi setting sejarah sang tokoh. Wajar bila sejarah tokoh menjadi penting untuk disimak.

Sampai di sini muncul pertanyaan, seperti apa biografi yang baik itu? Informasi seperti apa yang layak dikisahkan dalam sebuah biografi yang baik? Menurut Kuntowijoyo, biografi yang baik adalah biografi yang tidak hanya menceritakan riwayat hidup tokoh, tetapi juga menjelaskan catatan pertanggungjawaban sumber informasi. Katanya:

Contoh biografi yang baik adalah karya Pramoedya Ananta Toer. Pramoedya Ananta Toer dalam Sang Pemula menceritakan riwayat hidup R.M. Tirto Adhi Suryo dengan penuh catatan pertanggung-jawaban sumber dan lampiran karya-karya fiksi Tirto Adhi Suryo. Ia melakukan penelitian yang sungguh-sungguh dengan berbagai sumber (Kuntowijoyo, 2003).

Kutipan ini memperlihatkan, kisah pergumulan nasib seseorang yang disertai dengan berbagai bukti yang disertakan merupakan biografi yang baik. Kisah pergumulan nasib itu terkait dengan lingkungan sosial, budaya, dan politik yang menjadi konteks keberadaan tokoh. Akibatnya, Kuntowijoyo mengatakan, biografi merupakan “bagian dalam mosaik sejarah yang lebih besar” (Kuntowijoyo, 2003).

Agaknya kenyataan ini yang menjadi salah satu alasan mengapa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan sebuah buku berjudul Biografi Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam kata pengantar buku tersebut tertulis, antara lain,

Adapun pengertian Biografi Nasional ialah kumpulan informasi mengenai kehidupan tokoh dan kegiatannya dari berbagai bidang yang dianggap penting dan memegang peranan di dalam proses pembangunan masyarakat Indonesia. Pada taraf pertama proyek menangani Biografi Nasional yang berisi kehidupan dan kegiatan para guru besar di seluruh Indonesia (Alfian, I., A. Darban, dan D. Harnoko, 1983).

Kutipan ini menggambarkan, kisah perjalanan hidup seorang tokoh bisa menjadi inspirasi bagi pembangunan masyarakat Indonesia. Kisah perjalanan hidup itu bisa dipelajari untuk dijadikan teladan bagi khalayak. Artinya, melalui kisah itu bisa ditarik beberapa pelajaran yang bisa diterapkan.

Dalam konteks agama Islam, kisah Rasulullah saw dan para sahabat, menurut Imam Nawawi, bisa menjadi teladan untuk membangun istikamah. Katanya,

Karena mereka adalah ahli ibadah yang istiqamah, tak pernah surut dalam beribadah. Dengan membaca kisah-kisah mereka, bagaimana perjuangan mereka dalam menegakkan diinul Islam, maka kita dapat mengambil pelajaran dari kisah tersebut (Nawawi, 2014).

Ide mengambil teladan dari kisah rasul-rasul juga dianjurkan oleh Allah Swt. Dalam Al-Qur’an, Surah Hud, Ayat 120, Allah berfirman: “Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang peringatan bagi orang-orang yang beriman”.

Kecuali itu, Allah Swt. menjelaskan kisah perjalanan hidup manusia bisa menjadi pelajaran yang berharga bagi orang-orang yang cerdas. Ini bisa dilihat melalui Al-Qur’an, Surah Yusuf, Ayat 11, “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu (yang disebutkan dalam Al Qur’an) terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal”.

Kutipan kedua firman Allah ini meneguhkan, agama Islam tidak melarang seseorang untuk menerbitkan biografi. Kenyataan ini merupakan suatu pertanda, biografi akan menghasilkan sesuatu yang bisa menjadi inspirasi. Persoalannya lantas, inspirasi untuk apa?

Menurut Kasdin Sihotang, perjalanan hidup manusia bukan merupakan ensiklopedia segala hal yang diketahui tentang manusia itu. Katanya lagi:

Sejarah adalah dinamika hidup manusia dalam horizon waktu. Secara lain dapat dikatakan sejarah adalah cara berada manusia dalam menghayati hidupnya dengan menghubungkan masa lalu dengan masa kini dan membukakannya ke masa yang akan datang (Sihotang, 2018).

Kutipan ini memperlihatkan, dalam biografi, tokoh yang dikisahkan merefleksikan pengalamannya. Refleksi ini yang kemudian dibaca oleh khalayak. Melalui pembacaan itu, khalayak belajar dan mengingat. Untuk apa?

Jawaban yang masuk akal adalah untuk merancang masa depan. Soalnya, menurut Kasdin Sihotang, bagi manusia masa depan adalah arah yang akan dituju. “Masa depan adalah sebuah proyeksi, sekaligus tugas. Ia merupakan orientasi. Masa depan memuat harapan”, tambahnya (Sihotang, 2018).

Penjelasan ini meneguhkan, biograf menulis biografi untuk menunjukkan manfaat dan mendorong lahirnya ilham. Apakah kelak orang yang membaca biografi itu mendapatkan ilham atau tidak, itu urusan lain. Yang jelas sikap biograf tersebut tidak keliru dari sisi sejarah. Dia mengamalkan prinsip, yang oleh W. Poespoprodjo, disebut pragmatisme sejarah. ”Inilah pragmatisme sejarah. Orang mempelajari zaman lampau justru untuk menemukan di sana sumber ilham untuk hari depan. Hal ini per se tidak salah”, tambahnya (Poespoprodjo, 1987).

Di titik ini, kita tentu setuju dengan pendapat Taufik Abdullah yang mengatakan biografi sebagai salah satu cabang dari pengetahuan sejarah (Abdullah, 1998). Ia menjadi bagian dari sejarah. Bila sejarah memperlakukan individu (unsur utama sejarah) sebagai bagian dari denyut dinamika sosial, biografi memperlakukan tokoh yang dikisahkan sebagai aktor sejarah, sebagai pusat perhatian.

Pertanyaan yang kemudian menyergap adalah, apa yang bisa jadi pegangan biograf dalam menulis biografi? Salah satu pegangan itu datang dari Ibnu Khaldun dalam buku Mukaddimah: “dilihat dari segi lahiriyah, sejarah tidak lebih dari berita tentang peristiwa-peristiwa masa lalu” (Khaldun, 2011). Mungkin Ibnu Khaldun terlalu menyederhanakan sejarah.  Namun, yang ingin diingatkan oleh Ibnu Khaldun di sini adalah penulisan biografi bisa dilakukan dengan teknis jurnalisme. Bukankah pengertian jurnalisme yang sederhana adalah keseluruhan proses pengumpulan fakta, penulisan, penyuntingan dan penyiaran berita (Weiner, 1990)?

Kalau kenyataan ini bisa diterima, tentu kita perlu menarik garis batas jurnalisme dalam penulisan biografi.

Para hadirin yang dimuliakan Allah,

Batas Atas Jurnalisme dalam Penulisan Biografi:

Meningkatkan Intelektualitas Khalayak

Menulis biografi menjadi semacam pekerjaan kini. Banyak orang getol memproklamasikan dirinya sebagai biograf. Banyak pula tokoh yang menyambut tawaran biograf itu. Wajar bila ada peneliti yang coba mengamati profesi apa sebenarnya yang kerap kali menjadi biograf.  

Hasil penelitian Safari Daud terhadap 30 biografi menunjukkan, sebagian besar biograf adalah wartawan. Ini terlihat dalam tabel berikut.

Tabel Peringkat Biograf Sesuai Profesi

No ProfesiJumlahPeringkat
1Wartawan9I
2Sejarawan7II
3Intelektual5III
4Aktivis4IV
5Politisi2V
6Pensiunan Tentara2V
7Sastrawan1VI
 Jumlah30 
(Daud, 2013: 257)

Tabel ini menunjukkan, biograf tidak menjadi hak mutlak para sejarawan. Semua profesi terbuka menjadi biograf. Namun, wartawan menempati posisi pertama sebagai biograf. Ya, wartawan lebih kerap menjadi biograf.

Memang data di atas tergolong data lama. Namun, ia tetap bisa dipakai untuk menggambarkan tentang siapa yang sering kali menjadi biograf. Apalagi ia didukung oleh data tentang biograf terkenal yang pernah menjadi wartawan. Sedikitnya, terdapat dua mantan wartawan yang bisa kita golongkan sebagai biograf terkenal, yakni almarhum Ramadhan Kartahadimadja alias Ramadhan KH dan Alberthiene Endah.

Menceritakan wartawan sebagai biograf, apa maksudnya? Kesungguhan mereka untuk meningkatkan intelektualitas khalayak dalam menulis biografi. Bukankah meningkatkan intelektualitas khalayak merupakan idealisme wartawan (Abrar, 2022)?

Memang peningkatan intelektualitas khalayak bisa dilakukan wartawan melalui teks dan gambar. Teks dan gambar memiliki bahasanya sendiri. Bahasa teks dan bahasa gambar juga punya logika tersendiri. Namun, dalam menulis biografi, wartawan menjadikan bahasa sebagai alat interaksi antara dirinya dan khalayaknya.

Ketika seorang wartawan sudah menentukan bahasa yang akan digunakannya dalam menulis biografi, sesungguhnya dia melakukannya dengan sadar. Dia mengerti persis, bahasa itu menjadi alat dedikasinya pada pekerjaan. Meminjam pendapat Heidegger yang terdokumentasi dalam buku Filsafat Manusia: Jendela Menyingkap Humanisme (Sihotang, 2018), bahasa itu bukan lahir dari perbuatan semata, tetapi juga gerakan eksistensial untuk menunjukkan keterlibatan dirinya. Wartawan juga ingin menunjukkan eksistensi dirinya.

Dalam situasi begini, melalui bahasa sebenarnya seorang wartawan mengungkapkan dirinya kepada khalayak. Apa yang diungkapkannya? Tentu saja apa yang ada dalam pikirannya kepada khalayak. Namun, kita mengerti, wartawan tidak bisa langsung mempraktikkan ide ini kepada khalayak. Soalnya, ia bisa meluncur jadi opini. Padahal semua orang mengerti, wartawan tidak boleh beropini dalam biografi yang ditulisnya!

Lalu apa yang harus dilakukan wartawan dalam menulis biografi? Wartawan melakukan framing melalui biografi yang ditulisnya. Ya, wartawan bisa menempuh framing biografi untuk mengungkap dirinya kepada khalayak. Soalnya, mem-framing biografi merupakan pekerjaan yang sah dalam penulisan biografi. Mem-framing biografi selalu bertolak dari fakta yang ada.

Dalam keadaan begini, tentu kita butuh pedoman tentang framing biografi. Apa pedomannya? Pedoman itu bisa kita pinjam dari pernyataan Ashadi Siregar dalam buku Politik Editorial Media Indonesia: Analisis Tajuk Rencana 1998-2001 sebagai berikut.

Framing memiliki dua sisi tujuan, pertama bersifat internal yaitu sebagai perangkat dalam mengorganisasikan bahan yang diperoleh dari fakta agar dapat direkonstruksikan sebagai teks terstruktur. Kedua, framing merupakan cara untuk menghadirkan makna impilisit (tersirat). Pameo “read between the lines”, yaitu makna (meaning) dari suatu teks bukan hanya ditangkap melalui pengertian dari yang tersurat, tetapi juga dari sebalik (beyond) suatu teks. Intensi dan tujuan untuk menyampaikan makna di sebalik teks ini sering berkonteks pada kepentingan publik, atau nilai (value) dan cita-cita sosial yang dipandang luhur yang dirumuskan sebagai visi dan misi media pers (Siregar, 2003).

Hasil kegiatan framing adalah wacana. Wacana merupakan makna yang tersirat dari biografi yang ditulis wartawan. Ia meliputi, katakanlah, tekun, penyabar, pemberani, pekerja keras, teliti, tangguh, penyayang, ulet, dan sebagainya. Ia bisa dianggap sebagai ungkapan wartawan yang harus ditangkap oleh khalayak. Dari tangkapan ini, khalayak bisa membuat antitesis dan merumuskan sintesisnya. Kalau khalayak berhasil membuat sintesis wacana dan merumuskan sinstesisnya, sesungguhnya mereka sudah menempuh proses peningkatan intelektualitas.

Sampai di sini tentu muncul pertanyaan, apakah khalayak bisa menangkap wacana yang disampaikan wartawan dalam biografi secara akurat? Memang tidak mudah bagi khalayak menangkap wacana biografi secara akurat. Namun, mari kita lihat proses penangkapan wacana itu dengan saksama.

Framing biografi merupakan framing biograf. Framing biografi dilakukan secara sadar oleh biograf. Hasilnya akan ditangkap khalayak di sesuai dengan konstruksi sosialnya.

Di titik ini, kita berpendapat, peningkatan intelektualitas khalayak ditentukan oleh wacana yang terkandung dalam biografi yang ditulis wartawan. Kalau wacana itu memang ada, khalayak akan berusaha menangkapnya dengan framing individu. Kalau wacana itu tidak ada, tentu khalayak tidak bisa melakukan antitesis dan sintesis dari wacana itu. Mereka hanya akan menikmati biografi yang tersurat.

Pekerjaan framing menggunakan bahasa menjadi jalan masuk untuk meningkatkan intelektualitas khalayak dalam penulisan biografi. Pekerjaan itu merupakan salah satu dari rangkaian pekerjaan profesi jurnalisme. Tidak berlebih-lebihan rasanya bila peningkatan intelektualitas khalayak merupakan batas atas jurnalisme dalam penulisan biografi.  

Hadirin Rapat Terbuka Dewan Guru Besar yang saya hormati,

Batas Kanan Jurnalisme dalam Penulisan Biografi:

Mengutamakan Nilai Kemanusiaan

Di dalam jurnalisme, terdapat pedoman dasar untuk mengumpulkan fakta. Pedoman ini dikenal dengan 5W + 1H, yakni singkatan dari What (apa), Who (siapa), When (kapan), Where (di mana), Why (mengapa), dan How (bagaimana). Jawaban keenam pertanyaan inilah yang kemudian ditulis menjadi berita.

Dalam mengumpulkan jawaban keenam pertanyaan tersebut, seorang penulis berita mengidentifikasi semua fakta itu dengan nilai berita. Nilai berita ini, menurut Julian Harris, Kelly Leiter, dan Stanley Johnson (1981), paling tidak terdiri atas konflik, kemajuan, penting, dekat, aktual, unik, manusiawi, dan berpengaruh. Dengan begitu, hanya fakta yang memenuhi nilai berita inilah yang pantas disiarkan oleh media pers.

Pedoman ini sudah lazim dipraktikkan oleh para penulis berita. Hasilnya memuaskan khalayak. Biograf juga mengadopsi pedoman ini. Namun, sebelum mengadopsinya, pedoman itu mereka modifikasi dulu agar lebih peka terhadap pengumpulan fakta tentang tokoh yang dikisahkan. Pertanyaannya lantas, seperti apa hasil modifikasi itu?

Agaknya kita bisa meminjam pendapat Roy Peter Clark seperti yang disitir oleh Andreas Harsono dalam buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Di dalam buku ini, disebutkan, antara lain,

Pada narasi, menurut Clark dalam satu esei Nieman Reports, who berubah menjadi karakter, what menjadi plot atau alur, where menjadi setting, when menjadi kronologi, why menjadi motif dan how menjadi narasi (Harsono, 2008).

   Kutipan ini menunjukkan, fakta yang terkumpul dari jawaban semua pertanyaan di atas bisa dimanfaatkan untuk menulis biografi seorang tokoh. Ini meneguhkan penulisan biografi bisa menggunakan teknis jurnalisme.

Agar biografi lebih menyentuh khalayak, biograf perlu mengkonfirmasikan fakta yang diperoleh dari jawaban 5W + 1H hasil modifikasi Roy Peter Clark di atas dengan nilai berita yang biasa dipraktikkan dalam menulis personality features. Lalu, nilai berita apakah yang biasa dipraktikkan untuk menulis personality features?

Nilai yang utama, menurut Ana Nadhya Abrar (2005) adalah nilai manusiawi. Ini masuk akal. Karena, dengan nilai manusiawi itu khalayak bisa tersentuh perasaannya. Kisah yang disajikan bisa menimbulkan tawa, tangis, haru, senang, bahkan marah. Semakin menyentuh kisah itu, semakin lama pesannya tertanam dalam pikiran khalayak. Kalau sudah begini, bukan mustahil pesan itu menjadi inspirasi baru bagi mereka.

Kenyataan ini mau tak mau menyiratkan, menulis biografi menggunakan teknis jurnalisme berkaitan dengan keterampilan menggunakan bahasa jurnalistik. Sampai di sini muncul pertanyaan, seperti apa sesungguhnya bahasa jurnalistik itu? H. Rosihan Anwar menyebutkan bahasa jurnalistik sebagai berikut.

Bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat khas, yaitu: singkat, padat, sederhana, lancar, lugas dan menarik. Akan tetapi jangan dilupakan, bahasa jurnalistik harus didasarkan pada bahasa baku. Dia tidak dapat menganggap sepi kaidah-kaidah tata bahasa. Begitu juga dia harus memperhatikan ejaan yang benar. Akhirnya, dalam kosa kata, bahasa jurnalistik mengikuti perkembangan dalam masyarakat (Anwar, 1991).

Kutipan ini menggambarkan, bahasa jurnalistik, sekalipun memiliki ciri khas, tetap saja menggunakan kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang baku dan benar. Tegasnya, dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang baku dan benar dan bahasa jurnalistik itulah seorang biograf harus menunjukkan keterampilannya menulis. Kalau mereka tidak terampil menulis, biografi yang mereka tulis tidak akan memperoleh sambutan yang hangat dari khalayak.

Agar kisah yang ditampilkan dalam biografi tidak membosankan, agaknya biograf perlu mempertimbangkan pendapat Henry Guntur Tarigan tentang cerita biografis, yakni:

  1. suatu alur, suatu plot, atau satu lakon yang terpadu
  2. suatu kerangka waktu
  3. seorang tukang kisah yang menuturkan kisah tersebut
  4. perkembangan pelaku
  5. suatu ruang (setting) tempat terjadinya kisah itu (Tarigan, 2008).

Kutipan ini memperlihatkan, sebagai sebuah hasil keterampilan menulis, biografi harus mempertimbangkan semua aspek di atas. Semua aspek ini sama pentingnya dan sama andilnya dalam menghasilkan biografi yang berkualitas. Jadi, kita tidak boleh “menganak tirikan” sebuah aspek.

Apakah ini berarti biografi yang ditulis wartawan lebih baik daripada biografi yang ditulis oleh profesi lain? Tentu saja tidak. Hanya saja dengan menciptakan narasi dan kisah biografis menggunakan bahasa jurnalistik, wartsawan punya kesempatan yang luas untuk menghasilkan biografi yang mengutamakan nilai kemanusiaan.  Pengutamaan nilai kemanusiaan inilah yang menjadi batas kanan jurnalisme dalam penulisan biografi.  

Para hadirin yang dimuliakan Allah,

Batas Bawah Jurnalisme dalam Penulisan Biografi:

Memanfaatkan Jurnalisme Investigasi

Secara praktis, seorang tokoh yang minta seorang biograf menuliskan biografinya. Permintaan ini, tentu saja, tidak salah; bahkan sangat manusiawi. Permintaan itu, biasanya sudah diiringi kesiapan sang tokoh untuk mengungkapkan kisah tentang masa lalunya. Kalau tidak, rasanya mustahil seorang tokoh minta biograf menulis biografinya.

Persoalan yang kemudian muncul adalah, apa yang mendorong seorang tokoh mengungkapkan masa lalunya? Apakah dia sekadar ingin mengenang dan membagikan pengalaman yang telah membentuk kehidupannya? Atau dia ingin memelihara kisah kehidupannya sehingga bisa disaksikan dan dirasakan oleh orang lain?

Bagi Taufik Abdullah, masa lalu mengandung banyak makna. Salah satunya adalah misteri. Simaklah pendapatnya berikut ini.

Tetapi masa lalu bukanlah hanya pengalaman pribadi yang telah dilewati. Bahkan bukan pula sekadar rentetan peristiwa yang tak terhitung jumlahnya dan datang berdempetan yang harus dilalui bentuk kesatuan sosial—daerah, nasional, dunia—dalam perjalanan waktu. Karena itu, masa lalu bukanlah pula sekadar situasi yang bisa dianggap sebagai struktur yang telah melahirkan dan menyebabkan terjadinya apa saja yang kini sedang dialami. Masa lalu adalah sebuah misteri yang seakan-akan tak henti-hentinya mengundang untuk dimasuki. Undangan itu selalu terasa hadir, seakan-akan abadi, karena memang terlalu banyak—teramat banyak dan tidak terhitung—pertanyaan yang dipantulkan peristiwa di alam semesta kepada kesadaran dan alam pikiran yang minta jawaban” (Abdullah, 2006). 

Kutipan ini menunjukkan, sebagai kisah masa lalu seorang tokoh, biografi juga memiliki fungsi mengungkapkan misteri masa lalu sang tokoh. Ia bisa memuaskan rasa penasaran khalayak. Ia bahkan bisa menjawab berbagai teka-teki atau spekulasi yang selama ini beredar di kalangan khalayak.

Sebuah contoh adalah apa yang disampaikan oleh Jenderal Wiranto dalam biografinya yang berjudul Dari Catatan Wiranto Jenderal Purnawirawan Bersaksi di Tengah Badai. Dalam buku ini, dia menjawab teka-teki tentang siapa sebenarnya yang menolak Letnan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi Kepala Staf Angkatan Darat. Dia berkata:

Belakangan, baru saya tahu mengapa Presiden Abdurrahman Wahid selalu menolak tegas usulan saya untuk menempatkan Letjen Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Kelihatannya Presiden memang sudah memiliki pilihan di luar usulan Mabes ABRI, walaupun pada saat itu tidak diutarakan kepada saya. Terbukti dengan pengangkatan Letjen Tyasno Sudarto sebagai KSAD oleh Presiden tanpa usulan dari Mabes ABRI. Sebelumnya Letjen Tyasno Sudarto telah bertemu beberapa kali dengan Presiden tanpa sepengetahuan saya sebagai Panglima TNI. Barangkali dalam pertemuan-pertemuan itu sudah terjadi kesepakatan mengenai pengisian jabatan Kepala Staf Angkatan Darat” (Azhari, 2006).

Mungkin saja khalayak belum puas dengan pernyataan Wiranto di atas. Bisa saja khalayak mengharapkan jawaban yang lebih banyak lagi. Namun, Wiranto sudah menjawab teka-teki tentang siapa yang menghambat SBY jadi KSAD.

Tentu tidak mudah memperoleh informasi yang bisa menjawab sebuah teka-teki atau membongkar sebuah misteri. Soalnya, tidak jarang informasi tersebut bersifat rahasia. Untuk itu, diperlukan teknik mengumpulkan fakta yang canggih. Teknik mengumpulkan fakta seperti ini, dalam jurnalisme, biasa disebut investigasi. Lalu, fakta yang diperoleh dengan menggunakan investigasi, disebut jurnalisme investigasi.

Melalui jurnalisme investigasi, yang dicari, kata Jakob Oetama, bukan sekadar fakta dan masalah yang tampak. “Tetapi latar belakang, riwayat dan prosesnya, hubungan kausal maupun hubungan interaktif”. (Oetama, 2003). Bertolak dari sinilah, kemudian kita mengetahui jurnalisme investigasi menggunakan seluruh teknik mengumpulkan fakta yang dikenal dalam jurnalisme. Ia meliputi press release, konperensi pers, wawancara dan dokumen. Khusus yang dua terakhir ini, biasanya wawancara dengan narasumber rahasia dan menelusuri dokumen rahasia. Yang namanya rahasia, tentu posisinya tersembunyi. Karena tersembunyi, usaha untuk menemukannya sangat sulit. Itulah sebabnya tidak banyak wartawan yang bersedia mempraktikkan jurnalisme investigasi.

Praktik jurnalisme investigasi ini menjadi semakin perlu mengingat tokoh yang dikisahkan dalam biografi memiliki ego yang besar. Ego di sini, hendaklah dipahami sebagai perasaan, pikiran, dan kesadaran, dia berbeda dengan yang lain. Dengan karakteristik seperti ini, dia kadang-kadang tampil sebagai pribadi yang paling pintar, paling benar dan paling hebat. Tegasnya, dia lebih superior daripada tokoh lain.

Dalam keadaan beginilah, agaknya muncul biografi yang memojokkan tokoh lain. Mengenai hal ini, Sri-Edi Swasono pernah menulis:

Sebagaimana layaknya suatu biografi dari tokoh terkenal, isinya adalah puja-puji bahkan glorifikasi. Memang pakem Indonesia untuk penulisan biografi adalah “mikir dhuwur mendhem jero” sebagai pekerti keindonesiaan.

Namun, tentu terasakan aneh bila dalam pekerti itu ada pemojokan tertentu terhadap tokoh lain, apalagi tidak benar (Swasono, 2020).

Melalui kutipan ini, Sri-Edi Swasono menyuarakan pendapatnya tentang ciri khas biografi Indonesia. Dalam pendapat itu, dia mengatakan, ciri khas biografi Indonesia adalah mikul dhuwur mendhem jero. Ini tentu sah-sah saja.

Namun, kemudian Sri-Edi Swasono protes terhadap biografi yang memojokkan tokoh yang tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Protes ini wajar saja. Soalnya, ia bisa menghasilkan sikap yang tidak proporsional. Lebih dari itu, ia bisa meluncur menjadi melihat sejarah dengan keliru. 

Sampai di sini tentu muncul pertanyaan, biografi siapa yang disinyalir Sri-Edi Swasono memojokkan tokoh Indonesia yang tidak berdasar? Menurut Sri-Edi Swasono, Bung Hatta menjadi terpojok melalui pengantar Tarli Nugroho dalam buku Nasionalisme Sosialisme Pragmatisme: Pemikiran Ekonomi Politik Sumitro Djojohadikusumo karya M. Dawam Rahardjo. Dalam pengantar itu, Tarli Nugroho menulis, antara lain,

Berbeda dengan anggapan umum yang selalu menyebut pengunduran diri Hatta sebagai wakil presiden pada 1 Desember 1956 sebagai melulu karena konfliknya dengan Soekarno, sebagai ketua delegasi Indonesia dalam perundingan KMB, secara fatsoen politik Hatta mungkin harus mengundurkan diri karena hasil-hasil KMB terus mendapat penolakan publik bahkan akhirnya dibatalkan secara sepihak oleh pemerintah sendiri. Pandangan umum yang menyebutkan bahwa pengunduran diri Hatta adalah dikarenakan Soekarno semakin otoriter, hanyalah bentuk serangan dari lawan-lawan politik Soekarno (Nugroho, 2017).

Mengikuti kenyataan ini, tentu kita berpikir, Tarli Nugroho tentu bukan sembarang penulis. Bukankah tidak sembarang orang yang diminta LP3ES untuk menulis pengantar untuk buku karya M. Dawam Rahardjo?  Tirto.id menyebut Tarli Nugroho sebagai seorang peneliti dari Institute of Policy Studies. Selanjutnya, ia menulis:

Tarli adalah seorang akademisi. Sebagai akademisi dan peneliti, Tarli kerap mempublikasikan sejumlah karya tulis. Ia telah menerbitkan lebih dari sepuluh buku mengenai ekonomi politik, ekonomi pertanian, dan pemikiran ekonomi. Buku-buku yang telah dihasilkan di antaranya Pembangunan Desa: Dari Liberalisasi ke Modernisasi (2008), Ekonomi Politik Pembangunan (2012), Pandangan Historis Struktural Kerakyatan (2012), dan Sepuluh Tahun Koperasi (2013).

Kutipan ini menunjukkan, Tarli Nugroho merupakan seorang penulis kreatif dan punya literasi ekonomi, politik, dan pertanian. Namun, nukilan tulisan Tarli Nugroho di atas masih dianggap Sri Edi-Swasono sebagai tulisan yang absurd. Selanjutnya, dia menulis:

Bukan main absurd-nya tulisan ini. Beginikah glorifikasi sebuah biografi untuk seseorang (Swasono, 2020).

Tentu saja tidak ada yang salah dengan sikap Sri-Edi Swasono yang seperti ini. Justru sikap ini perlu dalam penulisan biografi, agar bisa menjadi perhatian bagi para biograf untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Yang tidak boleh tentu saja bila sikap ini meluncur pada egoisme atau self importance.

Kalaupun ada seorang biograf yang menunjukkan semua perasaan superior tokoh yang ditulisnya, ia harus punya bukti keras (hard evidence). Ia harus didukung fakta yang lengkap dan bisa diterima akal sehat. Ia juga harus memenuhi tuntutan verifikasi dan konfirmasi. Nah, semua ini hanya bisa ditemukan lewat praktik jurnalisme investigasi. Dengan kata lain, praktik jurnalisme investigasi akan mampu menjawab teka-teki seorang tokoh yang dikisahkan dalam sebuah biografi. Pada titik ini, kita berpendapat memanfaatkan jurnalisme investigasi sebagai batas bawah jurnalisme dalam menulis biografi.

Hadirin Rapat Terbuka Dewan Guru Besar yang saya hormati,

Batas Kiri Jurnalisme dalam Penulisan Biografi:

Membentuk Selera Narasi

Dengan metamorfosis logika 5W dan 1H, seperti yang sudah disampaikan di atas, narasi sudah menjadi bagian penting dari jurnalisme. Ia sudah menjadi sebuah cara menyampaikan fakta kepada pembaca. Ia akan ikut menentukan apakah sebuah biografi akan terus dibaca atau segera ditinggalkan. 

Sebagai sebuah cara untuk menyampaikan fakta, tentu saja narasi boleh puitis, sepanjang ia menyangkut fakta. Namun, tidak berarti setiap prosa puitis merupakan narasi. Biasanya narasi dalam jurnalisme malah tidak puitis.

Bertolak dari posisi narasi sebagai cara untuk menyampaikan fakta, muncul pertanyaan, mengapa ada khalayak yang lebih menyukai narasi biografi yang ditulis Ramadhan KH daripada narasi biografi yang ditulis Alberthiene Endah misalnya? Mengapa ada khalayak yang sama sekali tidak suka narasi biografi Deliar Noer dalam Mohammad Hatta: Hati Nurani Bangsa? Singkatnya: mengapa tidak semua orang menyukai narasi biografi yang dinilai bagus?

Mengadaptasi pendapat Benetto Croce yang dipinjam Jakob Sumardjo dalam buku Filsafat Seni, semuanya itu tergantung pada pengalaman artistik pencerita (narator) dan selera narasi para penanggap narasi (Sumardjo, 2000). Keduanya bertolak dari pengalaman menghasilkan narasi dan menanggapi narasi. Pengalaman ini, biasanya, ditentukan juga oleh “jam terbang”: pengetahuan, pengalaman dan kepekaan. Kalau pengalaman narasi pencipta narasi dan pengalaman penanggap narasi identik, biasanya penanggap narasi akan menyukai narasi yang dibacanya. Kesukaan ini menjadi dasar baginya untuk memahami isi narasi tersebut.

Sampai di sini, muncul pertanyaan, mungkinkah seorang biograf membentuk selera narasi khalayak? Tegasnya, bisakah seorang biograf mengajak khalayak untuk membangun selera narasi yang tinggi? Jawabannya sangat tegas, bisa, sepanjang biograf tersebut memenuhi dua syarat, yakni (i) tidak berbohong kepada khayalak, dan (ii) menyampaikan ekspresinya. Untuk tidak berbohong, seorang biograf tentu saja harus menyajikan fakta. Dia harus mengusahakan cek dan ricek agar memperoleh kebenaran. Cek dan ricek ini malah memperoleh tempat yang utama dalam proses jurnalisme.

Untuk menyajikan ekspresi tokoh yang dikisahkan, seorang biograf perlu juga melihat ranah privat sang tokoh. Karena, tidak jarang ekspresi sang tokoh justru muncul dalam ranah privat, misalnya tentang cita-cita yang berkaitan dengan kehidupan bersama yang memakmurkan dan menenteramkan. Kecuali itu, bukan mustahil pula ekspresi itu berada di ranah privat karena ketidakberdayaan sang tokoh untuk “memasukkannya” ke ruang publik.

Bagaimana kalau seorang biograf berbohong dan tidak menghadirkan ekspresi tokoh yang dikisahkannya? Kalau dia terbukti berbohong, tentu saja kualitas narasinya tidak bagus. Kalau dia terbukti hanya menghadirkan ekspresinya tentang tokoh yang dikisahkannya, kualitas narasinya juga jelek. Kalau sudah begini, namanya akan “tercemar”. Bukan mustahil khalayak tidak sudi lagi membaca biografi karyanya.

Kalau ditanyakan pada saya tentang upaya yang dilakukan seorang biograf agar tidak berbohong pada khalayak, jawabannya tegas: biograf berkerja untuk tokoh yang ditulisnya dan khalayakpembaca. Dalam bekerja untuk tokoh, seorang biograf harus menampilkan semua wacana yang terkandung dalam diri sang tokoh. Dalam bekerja untuk khalayak pembaca, seorang biograf harus menyajikan tali-temali kasus yang diberitakan. Mengenai yang terakhir ini, saya melakukannya dalam penulisan biografi Paulus Effendi Lotulung yang pernah menjadi Wakil Ketua Mahkamah Agung. Bab 3 Biografi berjudul Paulus Effendi Lotulung: Tenang Tapi Tajam Lahirkan Keadilan saya memaparkan alasan menyeluruh kenapa Paulus, Ketua Majelis Kasasi perkara Akbar Tanjung, membebaskan Akbar Tandjung. Padahal Paulus sendiri mengakui Akbar Tanjung menerima dana Rp40 miliar dari dana non-budgeter Bulog atas perintah dan persetujuan Presiden RI B. J. Habibe. Namun, fakta itu tidak otomatis menyebabkan Akbar Tanjung bersalah dan harus dihukum.

Lalu bagaimana Paulus memandang perkara yang dihadapinya itu? Simaklah sebagian isi bab 3 biografi Paulus Effendi Lotulung berikut.

Bertolak dari pertimbangan demikian, Mahkamah Agung (MA) membedakan antara tahap fakta hukum mengenai keluarnya dana sejumlah Rp. 40 milyar dari dana non budgeter Bulog sampai pada tahap diserahkan dan diterimanya beberapa cek sejumlah dana tersebut oleh Terdakwa I, yang harus ditinjau dari aspek hukum administrasi negara.

Sedangkan tahap fakta hukum mengenai pelaksanaannya dan penyerahannya sejumlah dana Rp. 40 milyar tersebut dari Terdakwa I kepada Terdakwa II dan Terdakwa III serta penyaluran selanjutnya, harus ditinjau dari aspek hukum pidana dan dibuktikan atas dasar hukum pidana.  Apakah terbukti dari segi hukum pidana bahwa Terdakwa I, Terdakwa II dan Terdakwa III tersebut menyelewengkan uang sebesar Rp. 40 milyar tersebut? (Abrar, 2013).

Mengikuti kenyataan ini, tentu timbul pertanyaan bagaimana MA memandang kasus ini? Untuk penjelasan lebih lanjut, bacalah biografi Paulus Efendi Lotulung secara lengkap. Namun, baiklah kita ingat, sidang kasasi ini sudah berlangsung 18 tahun lalu. Pembacaan amar putusannya terjadi pada 12 Februari 2004. Tentu semuanya sudah menjadi sejarah. Kalau keputusannya menjadi polemik hukum, itu sah-sah saja. Yang jelas amar putusan itu membebaskan Akbar Tanjung.

Kalau seorang biograf berbohong, sesungguhnya khalayak mampu mengidentifikasinya, yakni lewat penerapan metode yang disebut metode rasionalitas naratif. Metode ini bertolak dari hasil penelitian Walter Fisher, tetapi pernah dipopulerkan oleh Richard West dan Lyn H. Turner dalam buku Introducing Communication Theory: Analysis and Application, fourth edition. Kata mereka (West dan Turner, 2010), khalayak bisa menggunakan metode rasionalitas naratif (narrative rationality) untuk menentukan apakah sebuah narasi bisa dipercaya atau tidak. Untuk itu, simaklah koherensi struktural, koherensi material, koherensi karakterologis, dan ketepatan dari narasi tersebut. Melalui keempat kriteria ini khalayak bisa menentukan apakah seorang biograf berbohong atau tidak berbohong kepada khalayak.

Para hadirin yang dimuliakan Allah,

Catatan Akhir

Bagi jurnalisme, tujuan akhir sebuah biografi adalah menyampaikan wacana yang terkandung dalam diri tokoh yang dikisahkan. Wacana yang lahir dari biografi menjadi penting di samping narasi yang berkualitas. Dari sekian banyak wacana yang ditampilkan biografi, tentu ada wacana utama yang harus ditangkap oleh khalayak.

Semua wacana yang ditampilkan itu bertumpu pada bukti-bukti yang objektif. Bertolak dari bukti inilah seorang biograf memahami dan menjelaskan kenyataan yang ada. Dalam konteks ini, dia membutuhkan imajinasi agar tulisannya bisa jadi hidup dan berarti. Namun, dalam menunjukkan apa yang sesungguhnya terjadi pada diri tokoh yang dikisahkannya, dia harus memiliki kepekaan tentang cara bertutur yang baik.

Ketika seorang biograf menggunakan teknis jurnalisme dalam bertutur tentang tokoh yang dikisahkannya, dia tidak mengambil oper peran sejarawan. Dia hanya menampilkan pesona sejarah. Dia menampilkan fakta yang penting, menarik, dramatis dan mengandung human interest. Semua fakta ini mengisyaratkan pentingnya nilai kemanusiaan. Pengutamaan nilai kemanusiaan ini menjadi batas kanan jurnalisme dalam penulisan biografi.

Batas kanan jurnalisme itu bukan satu-satunya batas yang perlu dipertimbangkan biograf dalam menulis biografi menggunakan teknis jurnalisme. Ada lagi batas kiri jurnalisme, yakni membentuk selera narasi; batas atas jurnalisme, yakni meningkatkan intelektualitas khalayak; dan batas bawah jurnalisme, yakni memanfaatkan jurnalisme investigasi. Keempat batas ini menjadi dasar teknis jurnalisme dalam menulis biografi. Ketika keempatnya saling membentuk garis, sesungguhnya ia membentuk ruangan yang harus diisi oleh jurnalisme dalam penulisan biografi. Inilah yang bisa disebut cara mengintegrasikan jurnalisme ke dalam penulisan biografi. Inilah pula sumbangan jurnalisme bagi penulisan biografi.

Ibu dan Bapak yang saya muliakan,

Saya belum lama memperoleh jabatan profesor jurnalisme. Namun, perolehan jabatan ini merupakan akibat atau hasil dari sebab dan proses yang lama. Sebab dan proses itu bermula dari perjumpaan saya dengan Kenichi Asano, profesor jurnalisme dari Doshisha University, Jepang, di Tokyo, pertengahan Agustus 1996. Ketika itu, saya menjadi dosen tamu di Graduate School of International Development (GSID), Nagoya University. Kenichi sedang menemani partner saya di GSID, Nagoya University, Pak Naito Tagayasu. Dalam perbincangan itu, saya seolah-olah mendapat konfirmasi ingin menjadi seorang profesor jurnalisme

Maka saya mulailah usaha untuk menjadi profesor jurnalisme. Saya berusaha untuk cekatan menempuh jalan yang harus saya lalui, mulai dari memilih perguruan tinggi yang menawarkan program S-3 di bidang jurnalisme, menjalani kuliah S-3, berkiprah setelah memperoleh gelar Ph.D dalam jurnalisme, memperluas wawasan untuk meneguhkan literasi dalam “Mengajar Jurnalisme, Menelaah Jurnalisme dan Mampraktikkan Jurnalism” (3MJ). Dalam usaha itu banyak pihak ikut berkontribusi dengan caranya masing-masing.

Maka tibalah saatnya bagi saya untuk bersyukur dan menyampaikan pengharagaan dan ucapan terima kasih saya kepada berbagai pihak yang telah membantu saya dalam menapaki karier sebagai dosen hingga mencapai jenjang jabatan akademik tertinggi ini.

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah Swt. atas nikmat, hidayah, hinayah, dan karunia-Nya saya bisa menyampaikan pidato pengukuhan sebagai guru besar di hadapan ibu-ibu dan bapak-bapak sekalian. Tanpa izin dan pertolongan-Nya, tidak mungkin saya berdiri di tempat yang terhormat ini.

Penghargaan yang setinggi-tingginya dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada mereka atas kebaikan dan perhatian mereka yang tercurah kepada saya:

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Mas Nadiem Anwar Makarim, mempercayai saya pantas menduduki jabatan guru besar jurnalisme;

Rektor UGM, Pak Panut Mulyono dan jajaran wakil rektor UGM, menerima saya sebagai guru besar jurnalisme dan memberikan kesempatan menyampaikan pidato pengukuhan ini;

Ketua dan Sekretaris Dewan Guru Besar UGM, Pak Mochammad Maksum dan Pak Muhammad Baiquni, membesarkan semangat saya dalam menapaki jabatan guru besar jurnalisme ini;

Ketua dan Sekretaris Senat UGM, Bu Sulistyowati dan Pak Endi Suwondo, menerima saya sebagai anggota senat UGM;

Ketua dan Sekretaris Senat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Pak Susetiawan dan Bung Suharko, menelaah dengan cermat berkas pengajuan penilaian angka kredit saya. Mereka tidak ingin mengajukan penilaian angka kredit yang kelak akan bermasalah, baik di Senat Universitas Gadjah Mada maupun di Ditjen Pendidikan Tinggi di Jakarta; 

Bung Yuventius Agustinus Nunung Prajarto dan Bung Agus Pramusinto, mereview draf pidato pengukuhan guru besar ini dan memberikan masukan yang berharga demi penyempurnaannya;

Dekan Fisipol UGM, Mas Wawan Mashudi dan jajaran wakil dekan Fisipol UGM, memfasilitasi acara pengukuhan guru besar ini;

Ketua Departemen Ilmu Komunikasi, Fisipol UGM, Mba Rajiyem dan Sekretarisnya, Mba Lidwina Mutia Sadasri, menunjukkan jalan yang harus saya tempuh agar bisa menyampaikan pidato pengukuhan guru besar ini dengan lancar dan membantu persiapannya dengan penuh semangat;

Pak Susetiawan, Bung Nunung Prajarto, Mba Hermin Indah Wahyuni, Bung Suharko, dan Bung Nurhadi, berjuang keras meyakinkan senat UGM, saya pantas menduduki jabatan fungsional guru besar jurnalisme. Tanpa perjuangan mereka, mustahil Senat UGM menyetujui usulan saya sebagai guru besar jurnalisme;

Kedua orangtua saya, mendiang Hasan Basri Sulthany dan mendiang Hj. Noersyam, tanpa lelah membesarkan, mengusahakan saya menjadi anak yang saleh dan mengingatkan saya tentang makna manusia perwira;

Ketiga adik saya, Rozana Podesta Hassny dan suaminya Amrullah, Suzana Meutia Hassny serta anaknya Tiara Ariyani Putri, dan Ivone de Carlo dan suaminya Endra Muhadi, serta kedua anaknya Alfreda Fathya dan Faiz Zaki Abimanyu, selalu menyemangati saya untuk terus bekerja dan berbuat baik untuk orang banyak serta mengingatkankan saya tentang arti institusi keluarga dan nilai-nilai yang dikandungnya;

Bu Candrawati dan almarhum Pak Yujiharto, mertua saya, membesarkan semangat saya untuk menggapai segala obsesi saya tentang dunia akademik;

Kedua adik ipar saya Ninuk Dwi Agustiningrum Setyawati dan suaminya Bustami Anton Sunandar, serta kedua anaknya Vanya Anindya Sinari Sunandar dan Viola Armherst Fitrya Sunandar dan Chahyo Muhammad Ikhsan dan istrinya Melati Anjani, serta kedua anaknya Halwa Jinan Ikhsan dan Maqil Atharrayhan Ikhsan, senantiasa menerima saya sebagai anggota keluarga besar mereka;

Seluruh guru-guru saya, dengan penuh kesabaran mendidik dan mengajar diri saya menjadi insan yang melek etiket, melek huruf, melek media, melek politik, dan melek sains;

Almarhum Pak Hawari Sidik, telah memperkenalkan saya kepada jurnalisme sehingga saya menemukan jati diri saya;

Almarhum Pak Haryono Mangunkusumo, telah memperluas wawasan saya tentang seluk-beluk organisasi kemahasiswaan di UGM dan meyakinkan diri saya, dengan jurnalisme saya bisa menegakkan eksistensi diri saya;

Mendiang Pak Koesnadi Hardjasoemantri, ketika menjadi Rektor UGM telah membantu saya diterima jadi dosen di UGM, setelah tidak jadi Rektor UGM lagi “mengirim saya” bersekolah ke Kanada, dan ketika menjadi Ketua Umum KAGAMA menempatkan diri saya sebagai Pemimpin Redaksi Kabar UGM;

Bang Ashadi Siregar, “penjaga gawang” Jurusan Ilmu Komunikasi UGM, telah mendidik saya untuk menggunakan logika yang jernih dan memelihara eksistensi diri secara optimal dan memperkenalkan saya kepada jurnalisme lingkungan hidup. Berkat tertarik dengan jurnalisme lingkungan hidup itulah saya menekuni jurnalisme lingkungan hidup di York University, Toronto, Kanada;

Pak Muhammad Alwi Dahlan, dengan ikhlas membukakan jalan bagi saya menjadi seorang biograf;

Mr. Frederick Fletcher, pembimbing tesis saya di York University, Toronto Kanada, mendorong saya tetap menggunakan bahasa jurnalistik ketika menulis tesis. Baginya, keterampilan menggunakan bahasa jurnalistik dalam menulis tesis dan naskah akademis lainnya sangat perlu diapresiasi;

Pak Hamedi Moh. Adnan, pembimbing disertasi saya di Universiti Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia, memperlakukan saya sebagai “kawan” dan mengajari saya bagaimana menjadi dosen yang baik;

Pak Suhadi Sukarno, meningkatkan kepercayaan diri saya sebagai penulis dengan menyiarkan tulisan-tulisan saya di harian Kedaulatan Rakyat dan membesarkan hati saya ketika pertama kali menjadi biograf;

Almarhum Pak Yahya A Muhaimin, memberikan kesempatan kepada saya untuk menjadi dosen tamu di Graduate School of International Development, Nagoya University, Nagoya, Jepang sejak 1 April sampai 30 September 1996. Dari posisi inilah saya kemudian berkesempatan meneliti perkembangan jurnalisme lingkungan hidup di Jepang;           

Bu Aiko Kurasawa dan Pak Naito Tagayasu, dua orang Indonesianis asal Jepang, dengan serius memperkenalkan saya kepada dunia akademik Jepang, ketika saya menjadi peneliti tamu di Graduate School of International Development, Nagoya University, Nagoya, Jepang dan di Keio University, Tokyo, Jepang;

Bung Naoyuki Shintani, sahabat saya warga Jepang, yang begitu tulus membantu saya mencapai segala keinginan saya ketika menjadi peneliti tamu di Graduate School of International Development, Nagoya University, Nagoya, Jepang;

Mendiang Pak Agus Dwiyanto, ketika menjadi Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan menerima saya bergabung di sana dan memberikan kesempatan kepada saya untuk “membukukan” hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi;

Pak Sofian Effendi, ketika menjadi Rektor UGM telah mempercayai saya sebagai Kepala Bidang Humas dan Keprotokolan UGM, Direktur Gadjah Mada University Press dan memberikan bantuan studi buat diri saya untuk menyelesaikan Program S-3 di Malaysia. Pada saat menjadi Kepala Bidang Humas dan Keprotokolan UGM itulah saya menjadi Pemimpin Redaksi Kabar UGM;

Mas St. Sularto, menyediakan forum bagi saya di kompleks Kompas Gramedia Group untuk menyampaikan obsesi saya tentang biograf di depan para biograf ternama di republik ini;

Mas Darochim, membuka mata saya tentang makna takdir dan nasib. Dia juga mengajari saya tentang bagaimana menghadirkan Tuhan di dalam setiap langkah kehidupan saya. Berkat pembelajaran itu, saya tidak pernah gentar menghadapi segala persoalan yang menimpa saya;

Bung Nunung Prajarto dan Bung I Gusti Ngurah Putra, berada dalam satu kelompok dengan saya dalam menapaki karir sebagai dosen di Departemen Ilmu Komunikasi UGM sejak tahun 1988. Kami kenyang menghadapi kekuasaan yang meliputi kami dalam mengembangkan potensi masing-masing. Beruntung kami masih bisa bertahan sampai saat ini;

Bung Widodo Agus Setianto, memperkuat semangat saya untuk berkarya dan menularkan nilai-nilai parenial, mulai dari kebaikan, keadilan, kebahagiaan, kedamaian, dan kesejahteraan;

Bung Muhammad Supraja, mendorong saya untuk mengembangkan pikiran-pikiran tentang nilai-nilai kemanusiaan dalam jurnalisme. Sejatinya, nilai-nilai seperti ini harus mewarnai praktik jurnalisme di Indonesia;

Bu Marlina Flassy, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Cenderawasih, Jayapura, dengan ikhlas memposisikan saya sebagai bagian dari keluarga Flassy yang merantau ke Yogyakarta;

Keenam anak saya, Zafira Ayusti Abrar, Ansari Ahmad Abrar, Ahnaf Azmi Abrar, Alif Azra Abrar, Azalia Izzati Abrar, dan Aileen Arsyha Abrar, senantiasa menjadi matahari dalam kehidupan saya, sehingga saya betul-betul bisa rasakan makna pepatah Minangkabau, anak adalah paubek jariah, palarai damam;

Istri saya, Ariska Setyawati, selalu mendorong dan membantu saya agar tetap tegar menghadapi segala tantangan dan cemoohan yang   saya hadapi;

Seluruh pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi Fisipol (Dikom) UGM, dengan caranya sendiri-sendiri mendorong diri saya untuk mencapai jabatan akademis tertinggi ini, baik yang sudah pensiun, sudah meninggal hingga yang masih aktif. Mereka adalah Mas Bambang Setiawan, Pak Soehadi Soekarno, Bang Ashadi Siregar, mendiang Bu Djoenaisih S Sunarjo, mendiang Mba Isbandiah, Mas Budi Sayogo, Cak Budhy Komarul Zaman, Bung Nunung Prajarto, Bung I Gusti Ngurah Putra, Bung Widodo Agus Setyanto, Bung Kurniawan Kunto Yuliarso, Hermin Indah Wahyuni, Rahayu, Rajiyem, Novi  Kurnia, Adam Wijoyo Soekarno, Budi Irawanto, Muhamad Sulhan, Wisnu Marta Adipura, Syafrizal, Irham Nur Ansari, Acniah Damayanti, Ahmad Nyarwi, Pulung Setiosuci Perbawani, Gilang Desti Parahita, Lidwina Mutia Sadasri, Dian Arymami, Lisa Lindawati, Mufti Nurlatifah, Ardian Indro Yuwono, Syaifa Tania, Dewa Ayu Diah Angendari, Mashita Phitaloka Fandia, Wisnu Prastya Utomo, Zainuddin Muda Z. Monggilo, Massageng Widagdhaprasana, Yusuf Ariz Wahyuono.  Tak lupa kawan-kawan yang menggawangi administrasi Dikom UGM, mulai dari Subari, Oktavia Dewi K, Artis Retni M., Fitriatun Solikhah, Widya Lupita, Risqi Tri Palupi Wulandari;

Seluruh kawan-kawan di bagian kepegawaian Fisipol UGM, dengan sangat teliti mengurus pengajuan naik pangkat, merespons tanggapan dari pihak yang berwenang, dan selalu mengabari saya tentang kondisi permohonan pengajuan naik pangkat saya; mulai dari Suparyanto, Uling Sumbogo, Yuli Sudarini, Claudia Dewi Kusumaningrum, hingga Agus Sugiharja.

Semua kawan-kawan dari Bagian TURT, Bagian Hubungan Kelembagaan, Sub Bagian Protokol, Sub Bagian Kelembagaan Internal, Sub Bagian Rumah Tangga, Protokol dan Dokumentasi serta Sekretariat Rektor, dengan sungguh-sungguh menjamin terselenggaranya acara pengukuhan hari ini dengan lancar dan khidmat. Mereka adalah Evie Ratna Palupi, Wiwit Wijayanti, Jack Haryanto, Bahari Suharto, Bondan Mahendra, Endro Marjono, Nana Cholisna, Djendro Suwardjono, Dewi Indrawati, Riandhika Adityawan, Retno Widowati, Firsto Adi, Zarodin, Slamet Sihono, Ega Zulfikar, Probo, dan Heru;

Seluruh tokoh yang saya kisahkan dalam biografi maupun otobiografi, mulai dari Pak Tony Agus Ardie (almarhum), Pak Wellington Lod Wenda, Pak Paulus Efendi Lotulung (almarhum), Bu Hadori (istri Pak Hadori Yunus), dan Pak Don Flassy mereka memberikan kesempatan kepada saya untuk menulis biografi atau otobiografi mereka dengan menggunakan teknis jurnalisme;

Seluruh tokoh yang memberi saya kesempatan menulis profil lembaga menggunakan teknis jurnalisme, mulai dari Pak Marwan Asri (Dekan FEB UGM pada waktu itu), Pak Henri Soekirdi (Direktur Akademi Kebidanan Yogyakarta saat itu), dan Mas Erwan Agus Putranto (Dekan Fisipol UGM ketika itu), semuanya yakin pada kemampuan saya menulis profil lembaga yang dipimpinnya menggunakan teknis jurnalisme;

Akhirnya, kepada hadirin yang dengan sabar mengikuti upacara pengukuhan ini, terutama yang datang dari luar kota, saya menyampaikan penghormatan dan penghargaan yang setinggi-tingginya. Demikian pula kepada semua pihak yang membantu terselenggaranya acara ini, saya mengucapkan banyak terima kasih. Semoga Allah membalas budi dan amal baik semuanya dengan pahala yang berlipat ganda. Aamiin.

Wabillahi taufiq wal hidayah

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, F.H. 2018. “Analisis Psikologi Sosial dalam Novel Paradoks Karya Ana Nadhya Abrar”. Skripsi. Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember.

Abdullah, T. 1998. “Menteri Agama Republik Indonesia: Sebuah Pengantar Profil Biologis”. Dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam (editor), Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik. Jakarta: INIS dan PPM, pp. xi-xlii.

Abdullah, T. 2006. “Pengantar”. Dalam Azhari, Aidul Fitriciada (Ketua Tim Penulis), Dari Catatan Wiranto Jenderal Purnawirawan Bersaksi di Tengah Badai. Jakarta: IDe Indonesia, pp. xxii-xxxvi.

Abrar, A.N. 2004. Paradoks. Yogyakarta: Tinta.

Abrar, A.N. 2005. Penulisan Berita, edisi kedua. Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Abrar, A.N. 2013. Paulus Effendi Lotulung: Tenang Tapi Tajam Bergulat Lahirkan Keadilan. Yogyakarta: Penerbit Emerson.

Abrar, A.N. 2022. “Meniti Idealisme Wartawan: Kegamangan Yang Tak Pernah Selesai”. Dalam Eni Maryani, Pandan Yudhapramesti, dan Lestari Nurhayati (penyunting), Ideealisme Jurnalis & Inovasi Model Bisnis Industri Media. Jakarta: Penerbit LP3M LSPR.

Alfian, I. A. Darban, dan D. Harnoko. 1983. Biografi Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Al-Qur’an.

Anwar, H. R. 1991. Bahasa Jurnalistik dan Komposisi. Jakarta: PT Pradnya Paramita.

Azhari, A.F. (Ketua Tim Penulis). 2006. Dari Catatan Wiranto Jenderal Purnawirawan Bersaksi di Tengah Badai. Jakarta: Ide.

Daud, S. 2013. “Antara Biografi dan Historiografi”. Jurnal Analisis, Volume XIII, Nomor 1, Juni 2013, pp. 243-270.

Harris, Julian, Kelly Leiter, dan Stanley Johnson. (1981). The Complete Reporter. New York: Macmillan Publishing Co, Inc.

Harsono, A. 2008. “Pengantar”. Dalam Andreas Harsono dan Budi Setyono, (penyunting). Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia bekerja sama dengan Yayasan Pantau, pp. vii-xxi.

Kartodirdjo, S. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarata: PT Gramedia Pustaka Utama.

Khaldun, I. 2011. Mukaddimah. Jakarta Timur: Penerbit Al-Kautsar.

Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah, edisi kedua. Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana.

Nawawi, I. 2014. Buah Manis Istiqamah. Yogyakarta: Tugu Publisher.

Nugroho, T. 2017. “Sumitro, Dawam dan LP3ES Sedikit tentang kajian Pemikiran Ekonomi di Indonesia”. Dalam M. Dawam Rahardjo, Nasionalisme Sosialisme dan Pragmatisme: Pemikiran Ekonomi Politik Sumitro Djojohadikusumo. Jakarta: LP3ES, pp. xxiii-lviii.

Oetama, J. 2003. “Antara Jurnalisme Fakta dan Jurnalisme Makna”. Pidato Penerimaan Penganugerahan Gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang Komunikasi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 17 April 2003.

Poespoprodjo, W. 1987. Subjektivitas Dalam Historiografi. Bandung: Remadja Karya CV.

Pour, J. 2000. Baramuli Menggugat Politik Zaman. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Sihotang, K. 2018. Filsafat Manusia: Jendela Menyingkap Humanisme. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Siregar, A. 2003. “Pengantar”. Dalam Tim Redaksi LP3ES, Politik Editorial Media Indonesia: Analisis Tajuk Rencana 1998-2001. Jakarta: LP3ES.

Soeriawidjaja, A.K. 2000. Fadel Muhammad “Saya pilih jadi pengusaha”. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Sumardjo, J. 2000. Filsafat Seni. Bandung: Penerbit ITB.

Swasono, S.E. 2020. Mutualism & Brotherhood: Dimensi Moral Ekonomi Konstitusi Kita. Yogyakarta: UST Press

Tarigan, H.G. 2008. Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Penerbit Angkasa.

Tirto.id. Tarli Nugroho, Peneliti Institute of Policy Studies. Diakses dari https://tirto.id/m/tarli-nugroho-f pada 10 Januari 2022.

Weiner, R. 1990. Dictionary of Media and Communications. New York: Simon & Schusters, Inc. West, R. dan L.H. Turner. 2010. Introducing Communication Theory: Analysis and Application, fourth edition. Singapore: McGraw Hill International, Singapore.