Keberanian (bagian II)

Keberanian itu kualitas individu. Ia lahir berkat mengamalkan prinsip kebenaran. Kebenaran yang mana? Bukan kebenaran versi polisi. Bukan pula kebenaran kelompok. Namun, kebenaran universal. Kebenaran absolut yang berhasil dicapai manusia bertolak dari potensi dirinya. Maka orang berani tak bisa disuap. Tahan bujuk rayu. Kebal provokasi. Ia mengamalkan perintah Allah: Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) kepada orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Hud: 112). Namun, ada lho ada orang yang mengetahui kebenaran absolut itu. Anehnya, dia diam saja. Tidak berani membelanya. Tidak berani menegakkannya. Orang model begini sebenarnya pengkhianat kebenaran. Tidak mau ambil risiko. Dia pengecut. Maka pilihannya ada pada kita kini: menjadi pemberani atau pengecut? Apa pun pilihannya,  sah. Namun, yang memilih pengecut akan merendahkan martabat diri. Siapkah kita memiliki martabat diri yang rendah? Kalau belum, berani lah (bersambung).

(11/12/2022)

Author: Ana Nadhya Abrar

Gagal menjadi jurnalis profesional, tapi berhasil meraih jabatan profesor jurnalisme. Itulah peruntungan hidup Prof. Ana Nadhya Abrar, M.E.S., Ph.D. yang dikukuhkan sebagai guru besar Jurnalisme di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 10 Maret 2022. Di samping mengajar jurnalisme, dia juga rajin menulis. Selain ratusan artikel dan kolom untuk media massa, dia juga telah menulis dan menyunting puluhan buku. Penulisan biografi adalah spesialisasinya sebagaimana tergambar dari pidato pengukuhannya sebagai guru besar dengan judul “Menarik Garis Batas Jurnalisme dalam Penulisan Biografi”. -Hasril Caniago

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *