Bungkutoko-Pangulubelo: Penemuan Sebuah Keindahan

Pemandangan di atas terlihat 45 menit setelah kapal Jetliner berlayar meninggalkan pelabuhan Bungkutoko. Kapal ini tergolong Kapal Feri Cepat (KFC). Namun, ia bergerak pelan. Laut tenang. Matahari mulai terbenam. Angin bertiup lemah. Perjalanan menuju pelabuhan Pangulubelo di Wanci, menjadi menyenangkan. Saya pun bersyukur ke hadirat Allah Swt.

Tiba-tiba terdengar suara azan dari arah deck 3. Muncul ide, saya ingin melanjutkan rasa syukur itu. Saya bergegas menuju arah suara azan. Ternyata suara itu berasal dari sebuah mushala. Di sana sudah berkumpul beberapa penumpang. Saya masih punya wudhu. Tanpa berpikir panjang lagi, saya masuk mushala.

Saat berada di dalam mushala, saya mendengar takmir mushala memberi brifing kepada jemaah tentang pelaksanaan salat magrib. Karena kita dalam perjalanan, salat magribnya biasa. Setelah itu, kita salat Isya dua rakaat sebagai jamak takdim. Inilah bentuk pelayanan lain dari kapal. Wajar bila para penumpang merasa senang menumpang ini kalau ingin pergi ke pulau Wangi-Wangi.

KFC Jetliner yang setia melayari Kendari-Wanci pp.

Kapal mulai berjalan agak cepat. Namun, ini tidak mengurangi keinginan saya untuk menikmati keindahan alam di buritan. Saya bergegas ke sana. Saya berdiri santai memandang ke arah laut yang ditinggalkan kapal.

Saya pun menemukan pemandangan seperti ini:

Langit bersih. Sebuah bintang terlihat bersinar terang. Di bawahnya terlihat awan merona kemerahan. Di bawahnya lagi terlihat lampu dari sebuah pulau. Sedangkan air laut biru, memantulkan warna langit. Diantara yang berwarna biru, itu muncul air laut yang berwarna kecoklatan, sebagai jejak yang ditinggalkan kapal.

Inilah keindahan alam yang hanya bisa terlihat di laut. Keindahan yang menjadi dambaan setiap penikmat perjalanan. Keindahan yang membuat kita tersadar betapa indahnya alam ciptaan Allah. Namun, keindahan itu sering dirusak oleh manusia.

Kapal menembus kegelapan. Sepanjang jalan terlihat alunan ombak air laut tidak besar. Aneh. Bukankah ini musim timur? Dalam bayangan samar terlihat noktah-noktah putih di kejauhan. Ya, kapal semakin jauh meninggalkan daratan.

Saya menoleh ke samping saya. Terlihat beberapa penumpang berasyik-asyik dengan hp-nya. Ada juga yang terkantuk-kantuk. Mereka bersandar di dinding teras buritan. Namun, itu tidak membuat saya berhenti menikmati keindahan alam. Ini salah satu pemandangan yang saya saksikan.

Angin dingin menerpa saya, membawa uap laut. Namun, berbeda dengan angin laut dari samudera besar, angin laut di sini tidak ganas. Mungkin karena laut dilindungi oleh beberapa pulau. Saya pun tidak merasa khawatir akan kedinginan dan mabuk laut. Saya terus saja menikmati keindahan laut di atas.

Saya tidak menyangka akan menemukan pemandangan seperti ini. Sepulang dari ziarah di Masjid Al Alam di Kendari siang tadi, saya hanya membayangkan diri saya akan tidur saja selama di kapal. Lucu, tubuh saya yang pegal-pegal akibat kurang tidur semalam dan ziarah ke Masjid Al Alam, tiba-tiba terasa segar. Darah saya terasa mengalir hangat. Saya pun betah berlama-lama menikmati keindahan alam.

Masjid Al Alam di Kendari, Sulawesi Tenggara, yang dibangun di atas laut.

Pemandangan di sekitar kapal betul-betul menawarkan suasana yang damai dan santai. Saya jadi mengerti mengapa orang bersedia repot-repot menyewa kapal feri untuk melakukan perjalanan laut selama semalam atau dua malam. Pengalaman yang diperoleh akan menjadi pengalaman tidak terlupakan.

Keriangan yang saya rasakan mendadak sontak mendengar komentar seorang penumpang asal Wanci yang berdiri di samping kanan saya. Untung bapak berangkat malam. Kalau berangkat siang, bapak akan saksikan tanah di pulau sebelah itu sudah merah. Kering kerontang sebagai akibat penambangan nikel. Entah berapa tahun lagi tanah itu akan hijau, subur seperti semula.

Saya memandang ke arah yang ditunjukkan penumpang itu. Saya tidak melihat apa-apa, kecuali kelam. Gelap saja, kata saya.

Ya, katanya. Segelap hati kami orang Sultra. Kekayaan alam di sini dikeruk orang pusat dan pengusaha. Mereka kaya. Kami seperti ini saja. Hanya bisa menikmati kerusakan alam yang ditimbulkan penambangan nikel.

Saya gelagapan, tidak tahu harus bicara apa. Soalnya, saya tahu yang mengeluarkan Surat Izin Pertambangan (SIP) adalah pemerintah pusat. Pemberian SIP pun tidak transparan dan akuntabel. Berbekal SIP itulah, para pemiliknya mencari investor untuk menambang nikel.

Salah satu menara Masjid
Al Alam.

Memang ada investor daerah yang bersedia menambang. Namun, jumlahnya tidak banyak. Yang terbanyak justru investor dari luar negeri. Jamaknya investor ini, mereka tidak peduli dengan dampak negatif penambangan nikel. Mereka langgar saja Undang-Undang yang mewajibkan reboisasi di area bekas tambang. Mereka juga tidak transparan menyebutkan hasil turunan dari bongkahan batu yang mereka peroleh dari area pertambangan.

Turunannya macam-macam, Bapak. Ada emas dan uranium juga. Tapi yang disebutkan hanya nikel. Demikian komentar seorang bekas pekerja tambang di Sultra yang kini beralih jadi sopir taksi Bosowa di Kendari.

Kapal terus melaju. Di pelabuhan Pangulubelo saya akan turun untuk selanjutnya menuju Pulau Kaledupa. Di situ saya akan menyaksikan bagaimana kemajuan pembangunan di dua desa, Sombano dan Mantigola. Di Desa Mantigola, saya akan menyaksikan kehidupan sosial masyarakat bajo yang dikenal sebagai suku laut. Pengetahuan ini akan saya pakai untuk menilai hasil KKN mahasiswa di kedua desa itu. Sebagai dosen pembimbing mereka, saya harus punya pengetahuan yang memadai tentang kehidupan sosial di sana.

Saya tidak membiarkan pikiran saya dikuasai cerita tentang tambang nikel di Sulawesi Tenggara. Ada bagian dari cerita itu yang membuat saya jengkel. Kejengkelan itu kalau saya biarkan bersimaharajela akan membuat saya tidak bisa menikmati keindahan alam di perjalanan Bungkutoko-Pangulubelo.

Apakah perjalanan ini masih lama, kata saya mengalihkan pembicaraan. Sekitar jam 6 besok sampainya, jawabnya. Masih lama ya, kata saya sembari melihat jam tangan saya. Waktu menunjukkan pukul 21.00. Masih ada sekitar 9 jam lagi. Lalu, apa yang harus saya lakukan?

Saya masuk kapal, ruangan crew di deck 4. Pukul 22.00 saya  tidur, agar bisa terbangun sejam sebelum waktu subuh datang. Beruntung saya bisa mewujudkan keinginan itu. Usai salat subuh berjamaah di mushala kapal pada 27 Juni 2023, saya kembali ke buritan kapal. Tidak lama kapal berjalan, saya menyaksikan pemandangan ini:

Inilah Pulau Wangi-Wangi, sebagai pulau pertama dari singkatan Wakatobi (Wa=Wangi-Wangi atau Wanci, Ka=Kaledupa, To=Tomia, dan Bi=Binongko). Semua pulau di Wakatobi merupakan lokasi sempurna untuk menikmati keindahan bawah laut. Semuanya merupakan tempat yang pas buat pencinta pulau dan penyelam. Terumbu karangnya indah-indah. Kehidupan bawah lautnya pun beragam. Air lautnya jernih kehijauan. Hampir semua wisatawan yang berkunjung ke sini ingin menyelam menikmati keindahan alam bawah laut. Namun, wisatawan asing lebih tertarik untuk melakukan scuba diving atau snorkeling di Pulau Tomia.

Saya terpaku melihat keindahan yang diciptakan alam. Memang tidak terlihat matahari terbit. Namun, limpahan cahaya matahari pada alam sekitarnya membuat pemandangan ibarat lukisan. Lukisan alami. Saya tidak tahu harus berbicara apa, selain mengucapkan: Masya Allah. Indahnya alam ciptaan-Mu ya Allah. Tanpa terasa saya berdecak kagum.

Kapal seolah-olah mengerti dengan perasaan saya. Buktinya, kapal memperlambat kecepatannya. Saya pun bisa berlama-lama menikmati keindahan alam. Saya tidak tahu penumpang kapal yang lain. Yang jelas, saya benar-benar dipagut kebahagiaan menyaksikan Pulau Wangi-Wangi.

Bagaimanapun kapal memperlambat jalannya, tetap saja ia harus memasuki area Pelabuhan Pangulubelo. Ini pemandangan yang ditinggalkan kapal saat masuk Pelabuhan Pangulubelo:

Sudah terlihat hutan kecil yang terdapat di Pulau Wangi-Wangi. Air laut terlihat jernih berwarna kebiruan. Namun, dari dekat warnanya kehijauan. Suasananya terlihat tenang. Ada semburat warna oranye di kejauhan sebagai pantulan sinar matahari yang sudah mulai meninggi.

Saya tidak ingin kehilangan keindahan dan kedamaian ini. Namun, saya harus turun ke Pelabuhan Pangulubelo. Tiket kapal yang saya beli hanya sampai di sini. Saya harus menaklukkan diri saya sendiri. Soal ini saya teringat pesan penting Edmund Hillary, pendaki gunung asal Selandia Baru, yang menjadi penakluk pertama Mount Everest: It is not the mountain we conquer but ourselves. Ya, bukan gunung yang kita taklukkan, tapi diri kita sendiri.

Semboyan inilah sebenarnya yang dipraktikkan oleh para penikmat perjalanan. Berkat berjalan jauh, mereka bisa berlatih menaklukkan diri mereka sendiri. Apakah mereka benar-benar berhasil menaklukkan diri mereka sendiri? Entahlah! Yang jelas Indonesia membutuhkan pemimpin yang bisa menaklukkan dirinya sendiri.

***

Mantigola, 27 Juni 2023: 21.50

Author: Ana Nadhya Abrar

Gagal menjadi jurnalis profesional, tapi berhasil meraih jabatan profesor jurnalisme. Itulah peruntungan hidup Prof. Ana Nadhya Abrar, M.E.S., Ph.D. yang dikukuhkan sebagai guru besar Jurnalisme di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 10 Maret 2022. Di samping mengajar jurnalisme, dia juga rajin menulis. Selain ratusan artikel dan kolom untuk media massa, dia juga telah menulis dan menyunting puluhan buku. Penulisan biografi adalah spesialisasinya sebagaimana tergambar dari pidato pengukuhannya sebagai guru besar dengan judul “Menarik Garis Batas Jurnalisme dalam Penulisan Biografi”. -Hasril Caniago

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *