Warisan (bagian III)

Dalam masyarakat tradisional ada sebuah nilai agung menyangkut hubungan anak dan ayah. Nilai itu berbunyi: kalau seorang anak lebih unggul dari ayahnya, itulah nilai tertinggi buat anak. Itulah tanda kemajuan dalam keluarga. Maka seorang anak berusaha lebih baik dari ayahnya. Kalau dia gagal, nilai dia dan ayahnya jadi berkurang. Sebuah contoh, kalau ayahnya seorang insinyur, sementara anaknya hanya lulusan SMA, keluarganya akan merasa terhina. Sekarang masih ada yang mengamalkan nilai itu dan ada pula yang tidak. Lepas dari perdebatan tentang praktik itu, seorang ayah perlu mengeksplorasi kecerdasan anak, memilih yang dominan dan memfasilitasinya. Agar bisa mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri berdasarkan informasi dan pengetahuan yang diterimanya dari gurunya dan berbagai media. Kalau sudah begini, ayah sudah mewariskan kebaikan  buat anaknya. Anak itu cerdas lho. Allah berfirman: Ingatlah ketika Tuhan berkata kepada malaikat-malaikat. Sesungguhnya Aku menciptakan manusia dari tanah. Dan ketika dia telah kubentuk dengan sempurna dan Kutiupkan ke dalamnya ruh-Ku, hendaklah kamu tunduk dan merendah diri kepadanya. Lantas malaikat semuanya merendahkan diri (QS. Shad: 71-73). (habis).

(19/11/2022).

Author: Ana Nadhya Abrar

Gagal menjadi jurnalis profesional, tapi berhasil meraih jabatan profesor jurnalisme. Itulah peruntungan hidup Prof. Ana Nadhya Abrar, M.E.S., Ph.D. yang dikukuhkan sebagai guru besar Jurnalisme di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 10 Maret 2022. Di samping mengajar jurnalisme, dia juga rajin menulis. Selain ratusan artikel dan kolom untuk media massa, dia juga telah menulis dan menyunting puluhan buku. Penulisan biografi adalah spesialisasinya sebagaimana tergambar dari pidato pengukuhannya sebagai guru besar dengan judul “Menarik Garis Batas Jurnalisme dalam Penulisan Biografi”. -Hasril Caniago

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *