Kecerdasan (bagian I)

Kecerdasan tidak bisa diajarkan di kelas. Ia terbentuk konon melalui kesadaran memaknai diri, alam dan Allah. Lewat penegasan diri sebagai intelektual, kita bisa berolah pikir dan rasa tentang realitas. Kita senantiasa gelisah dan bertanya-tanya tentang rahasia sosial-budaya. Dari sini lahir ide cerdas untuk menyelesaikan masalah.  Dengan mengambil berkah dari alam, kita bisa membentuk akal budi yang baik. Bukankah ada peribahasa yang berbunyi: alam terkembang jadi guru? Akal budi bisa menciptakan proses peningkatan intelek. Melalui komunikasi dengan Allah, istilah kerennya komunikasi transendental, kita bisa berpihak pada keselamatan dan kedamaian. Soalnya, ia berpusat pada kalbu. Ia bisa membimbing kita memperoleh gambaran tentang esensi yang sesungguhnya. Kecuali itu, Rasulullah saw pernah bersabda: Orang cerdas adalah yang mau mengoreksi dirinya dan berbuat untuk (kehidupan) setelah kematian. (HR Tirmidzi). Kecerdasan kini merupakan keniscayaan. Terlalu banyak kebenaran yang disembunyikan informasi. Terlampau banyak perkataan yang berbeda dengan perbuatan. Terlalu banyak realitas sosiaologis yang berbeda dengan realitas media (bersambung).

(08/11/2022)

Author: Ana Nadhya Abrar

Gagal menjadi jurnalis profesional, tapi berhasil meraih jabatan profesor jurnalisme. Itulah peruntungan hidup Prof. Ana Nadhya Abrar, M.E.S., Ph.D. yang dikukuhkan sebagai guru besar Jurnalisme di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 10 Maret 2022. Di samping mengajar jurnalisme, dia juga rajin menulis. Selain ratusan artikel dan kolom untuk media massa, dia juga telah menulis dan menyunting puluhan buku. Penulisan biografi adalah spesialisasinya sebagaimana tergambar dari pidato pengukuhannya sebagai guru besar dengan judul “Menarik Garis Batas Jurnalisme dalam Penulisan Biografi”. -Hasril Caniago

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *