Kecerdasan (bagian II)

Semua manusia ingin sejahtera. Sejahtera itu sangat nyata. Kalau manusia tidak sejahtera, hidup akan jadi terbatas. Agar jadi sejahtera, manusia perlu meningkatan kualitas diri. Terutama kecerdasan. Kecerdasan seyogyanya dipraktikkan setiap hari.  Menjadi orang cerdas berarti paham yang dimaksud orang sebelum dia mengutarakannya secara verbal (Bahasa Minang: alun takilek, alah takalam). Dengan kecerdasan orang bisa melihat makna yang tersirat dalam teks yang tersurat. Orang cerdas tidak mau kesadarannya dihegemoni oleh informasi lewat empty signifier. Orang cerdas tidak ambil pusing dengan mitos. Baginya mitos adalah masa lalu yang tidak perlu dipikirkan. Maka manusia cerdas: (i) bisa melihat yang tidak bisa dilihat manusia biasa, (ii) mengutamakan yang penting-penting saja, (iii) berbuat berdasarkan keinsafan, dan (iv) memprioritaskan dan menyiapkan hal-hal yang dibutuhkan di masa depan.  Untuk menegaskan kecerdasan manusia, Allah berfirman: Dan apa saja (kekayaan, jabatan, keturunan) yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu tidak memahaminya? (QS. Al-Qashash: 60) (bersambung).

(09/11/2022).

Author: Ana Nadhya Abrar

Gagal menjadi jurnalis profesional, tapi berhasil meraih jabatan profesor jurnalisme. Itulah peruntungan hidup Prof. Ana Nadhya Abrar, M.E.S., Ph.D. yang dikukuhkan sebagai guru besar Jurnalisme di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 10 Maret 2022. Di samping mengajar jurnalisme, dia juga rajin menulis. Selain ratusan artikel dan kolom untuk media massa, dia juga telah menulis dan menyunting puluhan buku. Penulisan biografi adalah spesialisasinya sebagaimana tergambar dari pidato pengukuhannya sebagai guru besar dengan judul “Menarik Garis Batas Jurnalisme dalam Penulisan Biografi”. -Hasril Caniago

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *