Perasaan Ketinggalan (bagian II)

Kesadaran tak ingin merasa ketinggalan membuat orang bersemangat mengejar ketertinggalannya. Mereka menyusun agenda tentang apa yang harus dilakukan. Mereka sangat bersemangat. Begitu bersemangatnya, sehingga mereka lupa menyiapkan diri menghadapi situasi darurat. Tragedi kemanusiaan Halloween Itaewon bisa jadi sebuah contoh soal. Masyarakat setempat berdesak-desakan menghadiri perayaan Halloween Itaewon. Mereka tidak ingin merasa ketinggalan. Mereka abai berhitung tentang kapasitas maksimum dari lokasi. Mereka meluapkan emosi, lupa membayangkan emergency exit dari sana. Akibatnya, sedikitnya 154 orang meninggal dunia. Sampai 01/11/2022 belum jelas penyebabnya. Kita tentu berempati menyadari banyaknya korban jiwa itu. Namun, kita perlu menuliskannya agar tragedi gegara ketertinggalan tidak terjadi lagi. Kita perlu juga mengidentifikasi perasaan ketinggalan seperti apa yang bisa kita tinggalkan. Lebih dari itu, kita perlu juga mendengar nasehat orang yang pernah mengejar rasa ketinggalan itu. Tentang ini, Allah berfirman: Maka sampaikanlah berita gembira kepada hamba-hamba-Ku yang mendengar kata-kata nasehat) lalu mengikuti yang baiknya (QS. Az Zumar: 17-18) (bersambung).

(05/11/2022)

Author: Ana Nadhya Abrar

Gagal menjadi jurnalis profesional, tapi berhasil meraih jabatan profesor jurnalisme. Itulah peruntungan hidup Prof. Ana Nadhya Abrar, M.E.S., Ph.D. yang dikukuhkan sebagai guru besar Jurnalisme di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 10 Maret 2022. Di samping mengajar jurnalisme, dia juga rajin menulis. Selain ratusan artikel dan kolom untuk media massa, dia juga telah menulis dan menyunting puluhan buku. Penulisan biografi adalah spesialisasinya sebagaimana tergambar dari pidato pengukuhannya sebagai guru besar dengan judul “Menarik Garis Batas Jurnalisme dalam Penulisan Biografi”. -Hasril Caniago

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *