Salam penutup surat penulis berbunyi: salam solidaritas. Salam ini juga penulis pakai ketika menulis sebuah email kepada Uskup Agung Jakarta, Mgr. Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo. Ketika bertemu langsung dengannya untuk sebuah wawancara, Sang Monsiyur bertanya: Mengapa menggunakan “salam solidaritas”? Penulis menjawab: untuk menghargai kemanusiaan orang yang membaca dan merasakan pengalaman hidup bersama. Dia merespon: luar biasa. Penulis senyum saja. Lalu dimulailah wawancara. Hasil wawancara itu termuat dalam biografi Paulus Effendi Lotulung: Tenang Tapi Tajam Bergulat Lahirkan Keadilan. Itu terjadi tahun 2012. Sekarang, setelah sepuluh tahun berlalu, penulis tetap menutup sebuah surat dengan “salam solidaritas”. Penulisan seperti itu sebenarnya untuk menyatakan: penulis ingin mewujudkan rasa solider dalam relasi sosial. Sebagai penguat, penulis selalu ingat sabda Rasulullah saw: Barangsiapa ingin doanya terkabul dan dibebaskan dari kesulitannya, hendaklah dia mengatasi (menyelesaikan) kesulitan orang lain (HR. Ahmad). Kalau kemudian muncul pertanyaan, solidaritas yang mana? Solidaritas personal, bukan solidaritas mekanik. Dengan solidaritas ini, penulis bisa menerima orang lain apa adanya dan siap untuk terlibat dalam membentuk kehidupan bersama.
(31/10/2022)