Beutong Ateuh (bagian III)

Penulis tidak pernah menanyakan perasaan kawan seperjalanan. Namun, penulis tak berhenti berdoa agar selamat sampai di Meulaboh. Sejam perjalanan dari Takengon, jalanan sudah sepi. Jalan dinaungi hutan. Ternyata kami berjalan menyusup hutan. Jalannya mulus, tapi sempit. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Yang ada hanya tanda-tanda alam. Sesekali terlihat tanda-tanda lalu-lintas. Ini membantu agar darah kami tidak berdesir saat menghadapi tikungan tajam saat mendaki dan menurun. Agar mata kami tetap terbuka melihat jurang dalam pada satu sisi jalan. Maka kami harus tetap terbangun dan berjaga-jaga. Lengah sedikit saja, kami bisa terperosok ke jurang dalam. Namun, kewaspadaan itu terbayar oleh pemandangan indah di sepanjang lereng Gunung Singgah Mata (berbeda dengan gunung di daerah lain, di sini lereng gunung dijadikan jalan raya). Gunung ini terletak di dua kabupaten: Aceh Tengah dan Nagan Raya. Setelah istirahat dua kali dan bersusah payah menguras tenaga dan konsentrasi, akhirnya kami sampai di Meulaboh pukul 1 pagi. Alhamdulillah. Kami lega. Kami ungkapkan rasa syukur ini dengan lantang. Ini sesuai dengan firman Allah: Adapun terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah engkau menyebut-nyebutnya (QS. Al-Duha: 11).

(22/10/2022)-habis.

Author: Ana Nadhya Abrar

Gagal menjadi jurnalis profesional, tapi berhasil meraih jabatan profesor jurnalisme. Itulah peruntungan hidup Prof. Ana Nadhya Abrar, M.E.S., Ph.D. yang dikukuhkan sebagai guru besar Jurnalisme di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 10 Maret 2022. Di samping mengajar jurnalisme, dia juga rajin menulis. Selain ratusan artikel dan kolom untuk media massa, dia juga telah menulis dan menyunting puluhan buku. Penulisan biografi adalah spesialisasinya sebagaimana tergambar dari pidato pengukuhannya sebagai guru besar dengan judul “Menarik Garis Batas Jurnalisme dalam Penulisan Biografi”. -Hasril Caniago

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *