Beutong Ateuh (bagian II)

Kami merasa perlu ke Meulaboh, untuk: (i) menyambung silaturahim dengan seorang kawan, (ii) melihat dari dekat monumen tsunami, dan (iii) ziarah ke makam Teuku Umar, suami Cut Nyak Dien. Menyambung silaturahim merupakan anjuran Nabi Muhammad saw, sebagaimana sabdanya: Barangsiapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka sambunglah tali silaturahim (HR. Bukhari–Muslim). Dengan menyaksikan monumen tsunami kami bisa meningkatkan kesadaran tentang ganasnya tsunami. Ziarah kubur juga anjuran Rasulullah saw lewat sabdanya: Sesungguhnya aku dahulu telah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka (sekarang) berziarahlah karena akan bisa mengingatkan kalian kepada akhirat dan akan menambah kebaikan bagi kalian (HR. Muslim). Maka perjalanan ke Meulaboh untuk mencari kebaikan. Kalau kelak ada halang-rintang yang menyebabkan kami tidak sampai ke Meulaboh, itu takdir. Allah sudah menetapkannya, sebagaimana firman-Nya: Allah telah menetapkan bagi segala sesuatu kadarnya (QS. Al-Thalaq: 3). Kalau sudah begini, apa lagi yang harus kami risaukan? Kami pun memutuskan untuk tetap berangkat. Dengan mengucapkan bismillahirrahmanirrahim, usai salat Magrib, kami berangkat ke Meulaboh melalui Beutong Ateuh.

(21/10/2022)- bersambung.

Author: Ana Nadhya Abrar

Gagal menjadi jurnalis profesional, tapi berhasil meraih jabatan profesor jurnalisme. Itulah peruntungan hidup Prof. Ana Nadhya Abrar, M.E.S., Ph.D. yang dikukuhkan sebagai guru besar Jurnalisme di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 10 Maret 2022. Di samping mengajar jurnalisme, dia juga rajin menulis. Selain ratusan artikel dan kolom untuk media massa, dia juga telah menulis dan menyunting puluhan buku. Penulisan biografi adalah spesialisasinya sebagaimana tergambar dari pidato pengukuhannya sebagai guru besar dengan judul “Menarik Garis Batas Jurnalisme dalam Penulisan Biografi”. -Hasril Caniago

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *