Pentingnya Prakarsa

Generasi muda suku Bajo sebenarnya bisa bebas, kalau ingin hidup di darat. Namun, sebagian besar yang tinggal di Desa Mantigola, Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, menolak. Bagi mereka, tinggal di darat sama halnya dengan mengkhianati leluhurnya. Dengan sikap seperti itu, mereka tetap tinggal di laut dangkal. Mereka memaksimalkan laut sebagai arena kehidupannya. Mereka memanfaatkan batu karang dan kayu bakau (mangrove) untuk membangun rumah.

Foto 1 menunjukkan, desa Mantigola memang terpisah jauh dari daratan. Untuk bisa mencapainya, hanya ada satu jalan. Jalan itu terbentang di atas laut. Belum beraspal. Lebarnya hanya pas untuk dilewati satu mobil saja. Panjangnya sekitar 700 m. Ujung jalan itu disambung dengan jembatan yang terbuat dari kayu. Jembatan ini bercabang ke berbagai arah, sesuai dengan lokasi rumah yang ada.

Foto 1

Bisa dibayangkan betapa repotnya warga Mantigola kalau harus pergi ke darat. Namun, mereka tidak pernah mengeluh. Mereka terima saja kenyataan itu dengan ridha. Bersamaan dengan itu, mereka asah kemampuannya untuk bisa membangun kampung yang nyaman untuk ditempati.

Orang-orang yang sempat mengenal Suku Bajo akan menganggap mereka mustahil bisa hidup di laut tanpa memiliki prakarsa. Lalu, dari mana mereka menimba prakarasa itu? Bukankah secara tradisional tidak banyak warga Bajo yang sekolah di darat? Apakah mereka hanya belajar dari laut saja?

Ternyata mereka menimba prakarsa itu dari tradisi yang diciptakan oleh pendahulu mereka. Pendahulu mereka adalah nelayan tulen. Kini, penduduk Mantigola, kata Lafasa, penanggungjawab seksi pengelolaan Taman Nasional Wakatobi (TNW), hampir semuanya nelayan tradisional. Akibatnya, mereka bergantung pada ketersediaan sumber daya di perairan empat pulau yang membentuk istilah Wakatobi–Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko.

Sebagai nelayan tradisional, penduduk desa Mantigola, kata Nurdin, sang kepala desa, masih mempertahankan tradisi. Mereka menggunakan alat tangkap sederhana (seperti terlihat dalam Foto 2). Mereka juga menggunakan panah tradisional atau tombak tembak. Namun, mereka tidak menggunakan bom dan bius ikan. Dengan demikian, kata Lafasa, pemanfaatan sumber daya laut di Mantigola masih terkendali.

Foto 2

Kendati begitu, Lafasa mensinyalir, ada ajakan suku Bajo dari daerah lain, misalnya Kendari, untuk menggunakan alat tangkap yang merusak lingkungan. Mereka bahkan memberikan fasilitas yang lebih baik, tambah Lafasa. Ini jelas sangat menggoda. Maka, perhatian pemerintah sangat penting untuk mencegahnya.

Rupanya, pemerintah sudah lama menyadari keadaan ini. Melalui TNW, pemerintah memberdayakan masyarakat Mantigola. Misalnya melalui program kemitraan konservasi. Memang tidak semua program berjalan lancar. Yang lancar, antara lain: bantuan usaha ekonomi, pengadaan keramba budidaya, dan pengadaan bibit budidaya. Untuk melakukan semua, itu TNW mengadakan pelatihan dan pendampingan untuk masyarakat Mantigola. Ini sudah berlangsung sejak 2018, tambah Lafasa.

Agaknya perkembangan ini bisa menjadi jaminan, pengunjung akan tetap merasa nyaman berkunjung ke Mantigola. Mereka akan tetap bisa menikmati keindahan alam Mantigola yang cantik seperti dalam Foto 3 dan Foto 4 ini:

Foto 3

Foto 4

Bila dibandingkan dengan rumah di atas air di luar negeri, misalnya, di Thousand Islands, Sungai Saint Lawrence, di perbatasan Amerika Serikat-Kanada (Foto 5), rumah warga Bajo di Mantigola ini mungkin kalah indah. Namun, usaha mereka untuk membangun rumah di laut dan tinggal di sana seumur hidup, perlu diacungi jempol. Mereka sangat bersemangat membangun kehidupan di laut. Mereka layak disebut pionir.

Foto 5

Rumah warga Bajo di Mantigola bukan rumah peristirahatan. Rumah itu merupakan tempat tinggal mereka sehari-hari. Rumah itu menjadi pusat pertumbuhan keluarga. Untuk mengadakan kegiatan di luar rumah, warga Mantigola menggunakan perahu, yang disebut bodi batang (Foto 6). Mereka juga menggunakannya untuk mencari ikan dan teripang. Untuk yang terakhir ini, perjalanannya cukup jauh. Kami mencari teripang sampai ke Kupang bahkan masuk ke perairan Australia, kata Nurdin.

Foto 6

Melihat bodi batang di atas, sekalipun menggunakan mesin Yanmar 35 PK, tetap saja terlihat sederhana. Namun, Ketika dikendalikan oleh nelayan Mantigola, daya jelajahnya jauh. Tanpa cadik dan tanpa alat penunjuk arah yang memadai, mereka bisa berkelana di laut. Kami hanya mengandalkan posisi bintang, tambah Nurdin.

Kecuali sebagai penjelajah laut, nelayan Mantigola, juga penyelam handal. Konon mereka bisa menyelam hingga kedalaman hingga 30 meter di bawah permukaan laut hanya dengan satu tarikan napas.

Sampai di sini tentu muncul pertanyaan, apakah warga Mantigola tidak tersentuh modernisme? Masyarakat Mantigola sudah menggunakan telepon pintar. Sinyal telepon di sini stabil. Tidak heran mereka terbiasa dengan YouTube dan media sosial yang lain. Hebatnya, mereka malah mengkonversi perkembangan teknologi media itu menjadi semangat untuk memperbaiki kehidupannya.

Generasi muda Mantigola juga sudah mulai berkuliah di perguruan tinggi. Setidaknya sudah enam warga Mantigola yang menjadi sarjana. Saya merupakan calon sarjana ketujuh, kata Husna, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Baubau, putri kedua Nurdin.

Penting juga untuk ditulis, warga Mantigola mengakomadasi kehadiran kapital. Mereka tidak keberatan bekerja dengan juragan punya modal besar. Mereka megikuti aturan main yang sudah ditetapkan sang juragan. Namun, mereka tetap memelihara sakralitas hubungan dengan laut.

Mereka yang berhasil mmebangun akses dengan dunia luar Mantigola, bahkan sampai ke Wangi-Wangi, berhasil meningkatkan taraf hidup mereka. Ini terlihat dari rumah miliknya yang berbeda dengan rumah warga lain (Foto 7). Rumah ini sangat mencolok di antara rumah-rumah yang lain. Semua bagunan yang terlihat dalam foto itu sangat lazim ditemukan di darat. Namun, warga Mantigola membangunnya di laut dangkal.Mengangumkan!

Foto 7

Modernisme dan kapitalisme sangat dekat dengan warga Mantigola, rupanya. Warga sadar keduanya sangat penting dalam membangun kehidupan mereka. Mereka menjadikan keduanya sebagai sarana untuk memperbaiki hidupnya. Mereka tahu persis, kalau mereka pasif dan tak punya prakarsa, mereka akan dilindas oleh keduanya. Namun, mereka juga sangat sadar perlunya pengendalian diri. Lalu, apa yang mereka lakukan?

Beruntung semua warga Mantigola beragama Islam. Penghayatan terhadap ajaran Islam membantu mereka membantu mereka melawan gaya hidup hedon yang dibawa modernisme dan kapitalisme. Salah satu buktinya, ketika menyambut Hari Raya Idul Adha 1444 lalu, mereka beramai-ramai salai Idul Adha di masjid. Lihatlah Foto 8, yang mengabadikan warga Mantigola pulang ke rumah usai melaksanakan shalat Idul Adha.

Foto 8

Namun, cepatnya perubahan di zaman ini memaksa warga Mantigola untuk bertindak cepat. Apakah warga Mantigola memiliki prakarsa untuk mengikuti kecepatan itu? Melihat Foto 9, rasanya warga Mantigola memiliki prakarsa itu. Lihatlah, wajah Nurdin, kepala desa mereka (di sebelah kanan penulis), memancarkan optimisme. Seolah-olah menunjukkan kuatnya mentalnya dalam menghadapi cobaan yang dibawa modernisme dan kapitalisme. Maka, kita tidak perlu risau dengan perkembangan masyarakat Mantigola di masa mendatang.

Foto 9

***

Rejodani, 6 Agustus 2023

Author: Ana Nadhya Abrar

Gagal menjadi jurnalis profesional, tapi berhasil meraih jabatan profesor jurnalisme. Itulah peruntungan hidup Prof. Ana Nadhya Abrar, M.E.S., Ph.D. yang dikukuhkan sebagai guru besar Jurnalisme di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 10 Maret 2022. Di samping mengajar jurnalisme, dia juga rajin menulis. Selain ratusan artikel dan kolom untuk media massa, dia juga telah menulis dan menyunting puluhan buku. Penulisan biografi adalah spesialisasinya sebagaimana tergambar dari pidato pengukuhannya sebagai guru besar dengan judul “Menarik Garis Batas Jurnalisme dalam Penulisan Biografi”. -Hasril Caniago

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *