Suatu Hari di Pinggir Danau Ranau

Segala puji bagi Allah Swt.

“Sementara berpikir itu, ia terus berjalan di antara pohon kopi yang tinggi-tinggi. Dengan tiada diketahuinya tibalah ia di tepi danau yang lebar itu.

Matahari telah lama terbenam di balik pegunungan di sebelah timur, tetapi bayang-bayang cahayanya masih kelihatan jua di Gunung Seminung yang tinggi itu, sehingga puncaknya seperti bara yang menyala keungu-unguan rupanya. Rimba-rimba yang di lereng gunung itu telah hitam lembayung, diselubungi oleh cahayanya yang kabur dan gelap. Tetapi di langit mega-mega bertambah permai jua. Cahaya kuning yang gilang-gemilang itu makan lama makin suram, dan kesudahannya tampaklah sekalian awan bersusun-susun kemerah-merahan, laksana sutra yang tiada terperi halusnya. Perlahan-lahan warna keungu-unguan yang indah itu pun lenyap pula, diganti oleh warna lembayung yang bertambah lama bertambah gelap. Dan di balik selubung yang gelap itu timbullah perlahan-lahan bintang satu per satu, mula-mula takut berani, tetapi kesudahannya bersinar-sinar sebagai permata yang tiada ternilai harganya.

Batang-batang kayu, bukit dan gunung, sekaliannya menjadi satu, ya hitam belaka, tiada tentu corak dan warnanya.

Danau ranau yang besar itu tiada bergerak-gerak sedikit jua pun, seakan-akan sebuah cermin yang kabur dan gelap, yang membayangkan sekalian gambaran hitam sekelilingnya, penuh liku yang ganjil-ganjil.

Dari muka air yang tenang itu naiklah suatu cahaya yang gaib yang tak dapat dikaji. Cahaya itu membumbung ke atas, seakan-akan menyongsong sinar bintang dari langit.

Laki-laki yang berdiri di atas tebing itu pun memandang ke bawah, ke muka air yang bersinar kekabur-kaburan itu, dan lambat laun sentosa lah rasa hatinya seakan-akan cahaya muka air itu meresap ke dalam kalbunya membawa keteduhan tasik di tengah pegunungan yang kukuh-kuasa itu. Hilang sekalian penderitaan, lenyap tak tentu arahnya.”

Itulah bagian akhir dari novel Dian Yang Tak Kunjung Padam karya Sutan Takdir Alisjahbana (STA), hal. 153-154, yang selalu kuingat. Dari ingatan itu, aku membayangkan Yasin (tokoh utama novel tersebut) saat itu berada di pinggir Danau Ranau. Dia bisa menikmati pemandangan ke Gunung Seminung. Dia mengalami kejadian spiritual yang mengejutkan. Begitu mengejutkannya, sehingga penderitaannya belasan tahun tidak bisa menikahi Molek jadi hilang. Dia pun jadi lega. Siap untuk menempuh kehidupan selanjutnya dengan penuh pengabdian kepada Allah.

Semua itu melahirkan pertanyaan dalam benakku, seperti apa persisnya Danau Ranau itu? Di sisi bagian mana danau terletak Gunung Seminung? Bisakah aku mengalami kejadiaan yang mengejutkan seperti yang dialami Yasin?

Semua pertanyaan itu mendorongku untuk berkunjung ke Danau Ranau. Aku ingin merasakan atmosfir Danau Ranau dan Gunung Seminung itu. Siapa tahu, aku beruntung dan mengalami kejadian spiritual di sana.             Kesimpulan ini mendorongku untuk bisa melihat dari dekat Danau Ranau dan Gunung Seminung. Kesadaran tentang keterbatasan diri mendorongku untuk berdoa kepada Allah agar memberiku kesempatan menikmati keindahan alam itu. Tidak terhitung berapa kali aku berdoa agar bisa ke sana. Doaku dikabulkan Allah pada 17 Desember 2022. Pagi hari, sekitar jam 11, aku menyaksikan Danau Ranau dan Gunung Seminung seperti ini:

Danau Ranau dengan latar belakang Gunung Seminung (Foto: Abrar)

Karena matahari senang naik, Gunung Seminung terlihat biru. Rimba-rimbanya juga terlihat biru. Namun, di antara warna biru, itu menyeruak warna putih. Itulah atap rumah penduduk di kaki gunung itu. Ternyata penduduk sudah banyak yang berumah di kaki Gunung Seminung.

Aku bersyukur kepada Allah. Alhamdulillahirabbila’lamin. Akhirnya aku sampai juga di sini. Aku membisu. Menikmati keindahan alam di depanku. Setelah itu aku menatap lama-lama hamparan Danau Ranau yang dikawal oleh Gunung Seminung.

***

Sebelum sampai di Danau Ranau, Alif dan aku sudah menempuh perjalanan yang cukup panjang. Kami berangkat dari Yogyakarta menuju Jakarta pada 16 Desember 2022 jam 7 pagi naik pesawat. Sesampainya di Jakarta, kami transit dulu selama tiga jam. Jam 14 baru kami berangkat ke Bandar Lampung. Kami beruntung karena di bandara Raden Inten dijemput oleh seorang doktor akuntansi bernama Syamsu Rizal, dosen Universitas Bandar Lampung, menggunakan Kijang Innova 2017. Kami harus melewati tiga kabupaten sebelum sampai di Danau Ranau.

Syamsu belum bicara apa-apa sebelum kami sampai di RM Begadang 1, Bandar Lampung. Memang dia mengajukan beberapa pertanyaan. Namun, semua pertanyaan itu bak basa-basi saja. Betapa tidak, dia bertanya: bagaimana di perjalanan, Alif sudah terima rapor, sudah pernah ke Bandar Lampung?Aku menjawab seadanya: Perjalanan menyenangkan. Alif sudah meliburkan diri. Aku pernah ke Bandar Lampung tempat tahun lalu, persisnya 24 Oktober 2018. Waktu itu aku diundang memberikan ceramah tentang bagaimana menulis artikel di jurnal ilmiah oleh Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah II.

Usai makan siang, barulah Syamsu menyampaikan gagasannya. Sekarang kita langsung saja berangkat menuju Liwa. Di Liwa kita menginap. Besok paginya baru kita ke Ranau, katanya.

Aku setuju saja. Berada di samping seorang laki-laki gempal asal Mandiangin, Bukittinggi, yang sudah 36 tahun berdomisili di Bandar Lampung, aku percaya dia akan membawaku ke Danau Ranau lewat jalan yang menyenangkan. Apalagi dia sudah pernah berkunjung ke Danau Ranau. OK, balasku.

Maka berangkat lah kami dari Bandar Lampung sekitar pukul 15.30. Kata Syamsu, perjalanan Bandar Lampung-Liwa sekitar 250 km akan ditempuh dalam waktu 6-7 jam. Aku manut saja. Aku merasa sudah menyerahkan perjalanan ke Danau Ranau kepada yang ahlinya.

Seperti biasa, aku senang bisa melakukan perjalanan. Hatiku gembira menikmati keindahan alam. Sekalipun hujan turun ketika kami memasuki jalan tol, aku senang-senang saja. Kulihat daerah Lampung ini memang luas, namun datar saja. Karena luasnya itu, di kiri-kanan kami terhampar banyak perkebunan. Terutama perkebunan pisang dan singkong. Lampung mengirimkan hasil pisang dan singkongnya ke Jawa, kata Syamsu.

Di perjalanan, kami antara lain melewati Bandar Jaya, Kota Bumi dan Bukit Kemuning. Bandar Jaya termasuk Lampung Tengah. Memang Bandar Jaya sebuah kecamatan saja. Namun, posisinya sangat strategis karena menjadi daerah transit kendaraan yang melintasi Jalan Raya Lintas Sumatra dan Jalan Tol Bakauheni-Bandar Lampung-Terbanggi Besar.

Sedangkan Kota Bumi merupakan ibu kota Lampung Utara. Ia sudah sejak zaman penjajahan Belanda dulu. Konon di sini masih terdapat penduduk asli yang disebut Lampung Abung Nyunyai (Abung Siwo Migo). Keberadaan suku ini disimbolkan oleh Tugu Payan Emas yang dalam bahasa Lampung Abung artinya Tombak Emas yang terletak di pusat kota.

Sudah agak lama berjalan, kami sampai di Bukit Kemuning, yang juga termasuk Lampung Utara. Tidak jauh dari Bukit Kemuning, terdapat sebuah air terjun Curup Waras. Ini penampakannya:

Air Terjun Curup Waras (foto: Alib M)

Lazimnya air terjun, di sini kita bisa menawarkan pemandangan indah. Terdengar suara gemuruh dari air terjun yang mengalir. Di bawah air terjun, terlihat  kolam yang sangat bersih dan jernih. Kita bisa berenang atau atau sekedar berendam di kolam air terjun ini.

Namun, kami tidak mampir di sini. Kami langsung saja menuju Liwa. Kami melewati Abung Barat, Sumber Jaya, dan Sukau. Sepanjang jalan hanya ada hutan dan hutan. Kalaupun sesekali bertemu rumah penduduk, cuma satu dan dua. Ketika aku membuka kaca mobil, tercium bau-bauan yang datang dari dari pohon-pohon di kiri-kanan jalan. Kami merasa seperti berada di hutan saja.

Melewati Bukit Kemuning, Syamsu bicara banyak tentang kota Liwa. Katanya:

Liwa merupakan ibu kota Kabupaten Lampung Barat, Kabupaten kelima di Provinsi Lampung. Ia merupakan daerah dataran tinggi yang dikelilingi oleh pegunungan, yaitu Gunung Seminung, Gunung Pesagi, Gunung Sekincau serta Bukit Barisan Selatan. Udaranya sejuk. Para penduduknya terbiasa memakai jaket.

Mendengar Syamsu menyebut Gunung Seminung, aku tersentak. Berarti tidak lama lagi kami akan sampai di Danau Ranau. Aku sudah tidak sabaran ingin segera melihat wujudnya. Namun, sesuai dengan kesepakatan sore tadi, kami menginap dulu di Liwa.

Belum lama memasuki Liwa, kami sampai di Tugu Ara. Tugu ini merupakan sebuah landmark Liwa. Ini tugunya:

Tugu Ara (foto: Simplezerro)

Tugu ini terletak di sebuah pertigaan. Di sini, kami memilih belok kanan. Kita menuju komplek perkantoran pemkab. Jalan ini juga akan menuju Danau Ranau. Kalau belok kiri, kita akan Kabupaten Pesisir Barat, yang terkenal dengan Pantai Tanjung Setia, ujar Sjamsu. Aku menjawab, berarti kita sekarang cari penginapan, ya.

Ya, jawab Syamsu sembari tetap menyetir dengan semangat. Sekalipun sudah menyetir sekitar enam jam, ternyata Syamsu belum capek. Aku senang melihat dia masih bersemangat. Sekitar seperempat jam berjalan dari Tugu Ara, kami sampai di penginapan. Namanya: Permata Hotel. Kami turun dari mobil dan siap untuk menginap di sini.

***

Usai sarapan, kami meninggalkan hotel. Dari Amran, sang resepsionis hotel, kami dapat informasi tentang Danau Ranau sebagai berikut:

Danau Ranau merupakan Danau terbesar kedua di Sumatera setelah Danau Toba. Yang unik dari danau ini adalah, letaknya di dua provinsi, yaitu provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Lampung. Persisnya ia berada di perbatasan Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan dan Kabupaten Lampung Barat.

Untuk memperkaya informasi tentang Danau Ranau, aku melayari sebuah situs https://infolpg.com/wisata-danau-ranau-lampung/. Dari tulisan Reskiana Putri yang berjudul 5 Fakta Wisata Danau Ranau Lampung Yang Wajib Anda Ketahui, aku menemukan foto berikut:

Danau Ranau (Foto: Reskiana Putri)

Ada juga tentang profil Danau Ranau seperti ini:

Danau ini memiliki pemandangan Gunung Seminung di belakangnya dan juga di kelilingi oleh perbukitan dan lembah. Hal ini yang menjadikan Danau Ranau tidak hanya memiliki pemandangan yang indah, namun udaranya juga yang segar (Putri, 2022).

Soal objek lain di sekitar Danau Ranau, tulisan tersebut menjelaskan:

Di sisi lain kaki Gunung Seminung terdapat sumber air panas yang berasal dari dasar danau. Di dekat danau ini juga terdapat air terjun Subik. Selain keindahan alam yang ditawarkan Danau Ranau ini, pengunjung bisa pula memancing di pinggir danau (Putri, 2022).

Lalu, ikan apa saja yang ada di Danau Ranau? Tulisan itu menyebutkan:

Danau ini dihuni oleh berbagai macam jenis ikan tawar seperti, ikan mujair, ikan harongan, ikan kepiat dan ikan kepo (Putri, 2022). Apa lagi? Tulisan tersebut menulis:

Di tengah danau terdapat sebuah pulau kecil yang oleh penduduk setempat disebut Pulau Marisa. Pulau ini merupakan daerah persawahan milik warga sekitar. Di sana terdapat pohon-pohon kelapa yang menjadi rumah bagi beberapa jenis hewan primata (Putri, 2022).

Semua informasi di atas membuatku lega. Aku kini punya pengetahuan yang cukup memadai tentang Danau Ranau. Berbekal pengetahuan ini aku siap berangkat menuju Danau Ranau. Sebagai simbol kesiapanku, aku pun berfoto di bawah papan nama hotel.

Sekadar kenangan pernah mampir di sini
(Foto: Alif Azra Abrar)

Aku sudah berada di jalur yang tepat menuju Danau Ranau. Mendadak sontak aku merasa tidak asing lagi dengan Danau Ranau. Aneh? Ya. Namun, itulah yang terjadi. Aku merasa sudah akrab dengan Danau Ranau.

Bersama Syamsu dan Alif aku akan segera mereguk kenikmatan berhadapan dengan Danau Ranau. Memang kunjungan ini merupakan kunjungan pertamaku ke Danau Ranau. Namun, ia merupakan kunjunganku yang kelimabelas ke danau indah di seluruh Indonesia. Sembilan danau di antaranya berada di Sumatra (Danau Laut Tawar, Danau Toba, Danau Maninjau, Danau Singkarak, Danau Diateh, Danau Dibawah, Danau Talang, Danau Kerinci, dan Danau Gunung Tujuh). Sedangkan lima danau lainnya berada di Papua (Danau Sentani, Danau Love, Danau Paniai, Danau Anggi Giji dan Danau Anggi Gida).    

Aku memang sering kali merindukan pemandangan indah di danau. Kerinduan itu muncul sejak aku pertama mengunjungi Danau Singkarak. Ya, Danau Singkarak merupakan danau pertama yang kukunjungi. Aku mengunjunginya ketika aku bersekolah di SD, bersama ayahku. Saat itu aku sangat takjub menyaksikan Danau Singkarak.

Setelah itu, aku merindukan atmosfirnya. Merindukan riak airnya. Merindukan kesejukan udaranya. Merindukan bisa masuk ke dalamnya. Akhirnya, aku malah merindukan kebesaran Allah. Dari semua itu, aku menyadari betapa kecilnya aku dibandingkan dengan alam yang luas. Betapa tak berartinya aku dibandingkan kekuasaan Allah.

Semuanya berujung kepada kesadaranku untuk selalu bersyukur ke hadirat Allah. Ini harus selalu kuperbarui. Paling tidak untuk menegaskan kepada setan, aku tidak mau diperdayanya. Tegasnya, kunjungan ke setiap danau meninggalkan kesadaranku untuk meningkatkan rasa syukurku kepada Allah Swt. Pada sebuah titik dari perjalanan menuju Danau Ranau, aku sempat mengabadikan Danau Ranau di bawahnya. Lihatlah, betapa eloknya pemandangan ini:

Danau Ranau dari jalan menuju ke sana dari arah Liwa (Foto: Abrar)

Kegembiraan segera muncul ketika mengarahkan pemandangan ke sana. Kebahagiaan datang bertangkai-tangkai. Ketenteraman segera muncul. Ia menguasai seluruh diriku.

Namun, itu terasa belum cukup. Aku ingin segera berinteraksi dengan Danau Ranau. Aku pun minta Syamsu segera mengantarkan kami ke sana. Dengan sigapnya Syamsu memacu kendaraannya menuju sebuah taman yang dibangun oleh PT Pupuk Sriwijaya. Taman itu sangat luas. Ia mengakomodasi wisma dan penginapan bagi mereka yang ingin menginap di sana. Di bawah taman itu, terdapat dermaga perahu motor yang bisa membawa pengunjung ke Pulau Marisa. Setibanya di taman, kami bergegas turun ke tepi Danau Ranau. Kami meneruskan perjalanan ke dermaga. Nah, foto Danau Ranau dengan latar belakang Gunung Seminung di atas merupakan hasil jepretanku dari dermaga. Kecuali itu, Alif dan aku diabadikan pula oleh Syamsu dalam foto berikut:

Alif dan aku bergaya dengan latar belakang G. Seminung (foto: Syamsu)

Ada pula foto seperti di bawah ini:

Aku meletakkan tanganku di bahu Alif (Foto: Syamsu)

Apakah ini berarti sudah tidak ada lagi bebanku tentang Danau Ranau? Apakah sudah tidak ada lagi kerinduan tentang Danau Ranau yang kusimpan? Ternyata, masih ada kerinduan yang tersisa, yakni berenang di Danau Ranau. Lalu, aku dan Alif mencebur ke Danau Ranau. Kami berenang di pinggirnya. Ini foto kami berenang yang dijepret oleh Syamsu:

Berenang di sini terasa menyenangkan. Airnya sejuk. Jernih. Sekalipun kami tidak berenang ke tengah, kebahagiaan merasuki diriku. Menerpa lapis dadaku. Aku menemukan kebahagiaan berinteraksi dengan alam.

Angin mulai bertiup kencang. Sebentar lagi pasang datang. Kalau pasang datang, tentu airnya jadi keruh. Kami tidak ingin menikmati air keruh. Maka setelah berenang sekitar seperempat jam, kami pun naik ke atas. Di atas, di dekat dermaga, aku sempat berfoto seperti di samping kiri ini.

Sembari berdiri di pinggir Danau Ranau, mataku menerawang ke arah danau. Pikiranku berbicara banyak. Rasa-rasanya, belum lama kami berada di pinggir Danau Ranau. Namun, kami sudah mereguk kenikmatan indahnya Danau Ranau. Getaran kebahagiaan serasa merambati kulitku. Perjalanan jauh dari Yogya ke sini terasa tidak melelahkan. Kepuasan yang kuperoleh jauh melampaui usaha yang kulakukan. Oh, betapa beruntungnya aku bisa menikmati keindahan alam ini. Betapa sayangnya Allah kepadaku memberiku kesempatan bercengkerama dengan alam di sekitar Danau Ranau.

Usai berenang di pinggir Danau Ranau (foto: Alif Azra Abrar)

Aku ingin tetap memperoleh keberuntungan dalam hidup. Untuk itu, aku antara lain, akan mematuhi perintah Allah dalam Al Qur’an, Surah Al Mukminun, Ayat 1-3, yakni: khusyuk dalam salat dan menjauhkan diriku dari perbuatan dan perkataan yang tidak berguna. Tidak mudah memang melakukannya. Selalu saja ada godaan yang menghadang, baik berupa bisikan setan maupun ajakan hawa nafsu. Namun, aku akan tetap berusaha seoptimal mungkin.

Sampai di sini muncul beberapa pertanyaan, yakni, pertama, bisakah aku mengidentifikasi titik keberadaan Yasin dalam nukilan novel Dian Yang Tak Kunjung Padam di atas? Belum. Agaknya aku akan bisa menemukannya bila aku mengelilingi Danau Ranau dan berhenti di setiap tempat yang sesuai dengan ciri yang disebutkan oleh novel itu (Waktu di Danau Laut Tawar dulu, aku pernah mengelilinginya mengendarai mobil). Namun, aku tidak melakukannya. Aku khawatir Syamsu dan Alif jadi capek.

Kedua, bisakah aku membayangkan pondok Yasin tempat dia memperoleh pencerahan seperti yang digambarkan novel Dian Yang Tak Kunjung Padam itu? Pencerahan itu digambarkan STA sebagai berikut:

Dalam gelap-gulita itu, dihapusnya setitik air mata yang tergantung pada bulu matanya. Air mata itu bukan air mata kedukaan yang mengalir dari laut penderitaan! Air mata itu ialah air mata kegirangan batin yang tiada berhingga.

Malam itu ia mendapat kemenangan, kemenangan atas keduniaan. Ia mulai merasa hidup di dunia, di tengah keduniaan bagi akhirat yang kekal (hal. 154).

Aku bisa membayangkan pondok yang dimaksud. Sebuah pondok sederhana. Hanya diisi oleh perabot sederhana pula: ranjang dari bambu, sebuah meja kecil dan kursi juga dari bambu, sebuah lemari kecil tempat menyimpan pakaian dan piring serta seperangkat alat salat. Lalu ada dapur kecil dengan tungku untuk memasak nasi dan membakar ikan. Dengan semua perlatan itu Yasin bisa menemukan kebahagiaan. Dia bisa menjalani sisa umurnya dengan beramal baik. Soal yang terakhir ini, STA menulis:

Siapakah yang tiada tahu akan Yasin orang tua yang saleh dan taat beribadat itu, yang suka menolong siapa jua pun dengan segala tenaganya, tak memandang untung atau laba? (hal. 154).

Ketiga, apakah aku mengalami peristiwa spiritual yang meningkatkan keimananku? Tidak. Aku tidak mengalaminya secara tegas. Namun, tiba-tiba aku bertekad akan menyiapkan ruang ikhlas dalam hatiku untuk menerima hidayah-Nya. Untuk itu aku siap minta petunjuk-Nya. Soal ini, aku ingat sebuah firman Allah: Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua tersesat kecuali orang yang Aku beri petunjuk, maka mintalah petunjuk kepada-Ku niscaya Aku akan berikan petunjuk kepada kalian (Hadis qudsi yang diriwayatkan Muslim).

Petunjuk itu, kuminta dalam seuntai doa seperti yang diajarkan Rasulullah saw: Ya Allah, aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, penjagaan diri (dari segala keburukan) dan kekayaan hati (selalu merasa cukup dengan pemberian-Mu). Yang terakhir inilah yang harus kupegang teguh. Ya, aku akan mengejar kekayaan hati dalam sisa hidupku.

Maka mengejar kekayaan hati inilah yang menjadi capaian tertinggiku berada di pinggir Danau Ranau pada 17 Desember 2022. Aku lega. Aku memandang sekali lagi ke arah Danau Ranau dan Gunung Seminung. Lalu aku membalikkan badan. Berjalan meninggalkan pinggir Danau Ranau.

***

Birugo Puhun, 20 Desember 2022.

Author: Ana Nadhya Abrar

Gagal menjadi jurnalis profesional, tapi berhasil meraih jabatan profesor jurnalisme. Itulah peruntungan hidup Prof. Ana Nadhya Abrar, M.E.S., Ph.D. yang dikukuhkan sebagai guru besar Jurnalisme di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 10 Maret 2022. Di samping mengajar jurnalisme, dia juga rajin menulis. Selain ratusan artikel dan kolom untuk media massa, dia juga telah menulis dan menyunting puluhan buku. Penulisan biografi adalah spesialisasinya sebagaimana tergambar dari pidato pengukuhannya sebagai guru besar dengan judul “Menarik Garis Batas Jurnalisme dalam Penulisan Biografi”. -Hasril Caniago

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *