Dunia tak lepas dari kontestasi politik. Para kontestan saling berebut pengaruh. Mereka menggunakan berbagai saluran komunikasi yang berkekuatan hegemonik Untuk apa? Untuk memperoleh citra positif di kalangan masyarakat. Citra itu bisa saja tanpa referensi. Bisa pula tanpa punya akar realitas. Tapi, mereka tidak peduli. Toh, citra itu hanya untuk satu periode saja. Setelah itu akan terjadi lagi kontestasi. Terjadi lagi perebutan citra positif. Jokowi masih memperebutkan citra positif, ternyata. Dia mengucapkan “setelah ini jatah Prabowo”. Ungkapan itu disampaikannya saat menceritakan pengalamannya menang di semua kontestasi politik, termasuk dua kali menang pilpres (detik.com, 09/11/2022-07:04). Dia menggiring masyarakat untuk respek pada dirinya yang seolah-olah mendukung Prabowo pada pilpres 2024. Dia seakan-akan ingin membalas kebaikan Prabowo pada pilgub DKI Jakarta 2012. Padahal siapa pun mengerti, jagoan Jokowi adalah Ganjar Pranowo. Bukan mustahil masyarakat merasa jenuh dengan pencitraan Jokowi ini. Lalu ada yang berkomentar: Kok sibuk mengurusi pencitraan. Islam melarang pencitraan, sebagaimana terungkap dalam firman Allah: Maka janganlah kamu sekalian menyucikan diri sendiri. Dialah yang paling mengetahui orang yang bertakwa. (QS. An-Najm: 32) (bersambung).
(11/11/2022).