Ke Titik Nol Barus Menimba Kepuasan

Seorang bocah Bernama Aileen Arshya Abrar berfoto dengan latar belakang titik nol Barus. Tentu dia tidak mengerti makna tetenger itu. Dia juga akan segera lupa pernah berfoto disitu. Namun, apakah kita juga akan bersikap seperti Aileen?

Seorang bocah Bernama Aileen Arshya Abrar berfoto dengan latar belakang titik nol Barus. Tentu dia tidak mengerti makna tetenger itu. Dia juga akan segera lupa pernah berfoto disitu. Namun, apakah kita juga akan bersikap seperti Aileen?

Mungkin saja ada orang yang hanya menganggap tetenger itu sebagai tanda untuk memperingati sesuatu peristiwa biasa saja. Ada juga orang yang bertanya-tanya tentang apa persisnya peristiwa itu. Ada pula orang yang menganggap sebagai obyek kunjungan wisata biasa saja. Semuanya tentu sah saja.

Namun, bagiku titik nol Barus tidak sekadar obyek kunjungan wisata. Ia merupakan tempat menimba pengetahuan. Pengetahuan tentang sejarah, di tempat inilah Islam pertama kali masuk ke Indonesia. Ini ditunjukkan oleh prasasti yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo berikut:

Prasasti ini menunjukkan, Barus merupakan awal masuknya Islam ke Indonesia. Ketika itu, yang ada hanya Islam. Belum ada “Islam Nusantara”. Kata “Nusantara” itu agaknya untuk mengingatkan kita, istilah “Islam Nusantara” lahir pada saat Joko Widodo menjadi Presiden. Yakinlah Pak Presiden, sejarah sudah mencatatnya, kataku dalam hati.

Sampai di sini tentu tentu muncul pertanyaan, di mana sih Barus itu? Mengapa Barus disebut sebagai titik nol Islam di nusantara? Sesungguhnya Barus merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatra Utara. Ia terletak di Pantai Barat Sumatra, dengan ketinggian 0-3 m di atas permukaan laut.

 Menjadi daerah pertama di Indonesia yang menerima Islam memberi peluang kepada Barus untuk membentuk sebuah peradaban baru. Konon Barus menjadi sebuah kota emporium dan menjadi pusat peradaban pada abad 1-17 Masehi. Namun, ketika itu Barus lebih popular disebut Fansur.

Barus sekarang masih terletak di pinggir laut. Masuk akal bila dulu Barus merupakan pelabuhan internasional. Ia disinggahi oleh berbagai pedagang dari berbagai etnis yang berasal dari berbagai negeri di belahan dunia. Untuk apa? Untuk mendapatkan rempah-rempah dan kapur barus.

Kapur barus memang berasal dari Barus. Ia dihasilkan dari sebuah pohon kamper (dryobalanops camphora), tumbuhan khas Nusantara. Pohon ini berperawakan besar dengan diameter batang berkisar 70 sentimeter. Tingginya bisa mencapai 62 meter.

Konon orang Yunani sudah mengenal Barus sejak abad kedua Masehi. Mereka mengenalnya sebagai bandar niaga bernama Baraosai. Namun, yang diperjual-belikan di sana tetap saja bahan wewangian dan kapur barus.

Saat itu kapur barus menjadi komoditas yang sangat berharga. Konon Marco Polo pernah mengatakan, harga kapur barus semahal emas dengan berat yang sama. Wajar bila kemudian banyak pedagang asing yang mendatangi Barus. Mereka berasal dari Eropa dan Timur Tengah.

Rupanya pedagang asing dari Timur Tengah tidak hanya sekadar membeli rempah-rempah dan kapur barus di Barus. Mereka juga menyebarkan agama Islam. Apa buktinya?

Menurut Detikcom, 5 September 2023, terdapat beberapa bukti arkeologis yang menunjukkan bahwa Barus merupakan kota Islam pertama di Indonesia. Apa saja buktinya?

Pertama, terdapat nisan makam tua di kompleks pemakaman Mahligai, Barus yang salah satunya bertuliskan Syekh Rukunuddin yang wafat pada 672 M/46 H. Kedua, terdapat makam Islam tua di 11 Kota Barus, salah satunya makam Syekh Machmudsyah di Bukit Papan Tinggi yang wafat pada 440 H. Didorong oleh keingintahuanku pada bukti arkelologis yang kedua, aku sempat mengunjungi Bukit Papan Tinggi dan makam Syekh Machmudsyah. Ini dia papan penunjuk nama Bukit Papan Tinggi di desa Pananggahan itu:

Aku sempatkan juga menaiki tangga yang tersedia. Setidaknya terdapat 720 anak tangga yang harus kunaiki untuk mencapai makan Syekh Machmudsyah. Sesampainya di area makam, aku melihat pemandangan seperti ini:

Makamnya panjang. Sekitar 4,5 meter. Muncul pertanyaan dalam pikirkanku, kok sepanjang itu ya? Apakah memang Syekh Machmudsyah setinggi itu?  Aku yakin, tidak. Tapi mengapa makamnya sepanjang itu, tanyaku lagi. Entahlah!

Yang jelas makam itu terawat. Berarti ada yang merawat. Siapa yang merawat? Apakah dia masih keturunan Syekh Machmudsyah? Kecuali itu, muncul juga pertanyaan lain, bagaimana cara membawa mayat Syekh Machmudsyah ke atas bukit yang tingginya sekitar 350 m itu?

Beredar berbagai informasi sebagai jawaban pertanyaan di atas. Namun, jawaban itu tidak mendapat konfirmasi positif. Ia lebih banyak diselubungi kabut mitos dan legenda. Maka, pertanyaan itu tetap menjadi pertanyaan.

Keberadaan bukti arkeologis Barus sebagai kota pertama Islam di Indonesia bisa jadi sudah ditulis dalam berbagai dokumen. Ia sudah menjelma sebagai fakta sosial yang obyektif. Kalau tidak, mustahil Presiden Joko Widodo menandatangani prasasti Kilometer “0” peradaban Islam di Indonesia.

Idealnya cerita tentang peradaban Islam, kebudayaan yang dikembangkannya, daulat masyarakat sebagai pedagang waktu itu bisa  menjadi perspektif renungan yang segar dan tajam di masa kini. Namun, kita tidak lagi mendengar kisah-kisah yang menarik tentang masa itu. Kita tidak lagi mendengar gagasan tentang kaitan masa lalu itu dengan masa sekarang dan masa depan peradaban Islam. Kita tidak mendengar perbincangan di kalangan generasi milenal, generasi y dan generasi z tentang peradaban Islam. Tidak muncul refleksi yang bisa mereka jadikan pegangan untuk membentuk peradaban Islam yang cocok untuk Indonesia sekarang.

Apakah ini berarti bahwa kita tidak lagi peduli dengan sejarah peradaban Islam di Indonesia? Entahlah! Yang jelas, bagiku pribadi, kedatanganku ke Barus tidak sebatas melanglangbuana ke masa lampau dan mengembarakan pikiran ke masa depan yang tidak jelas. Ia mendidikku untuk menimba kepedulian terhadap sejarah peradaban Islam. Agar bisa memperoleh makna yang hakiki untuk dihadirkan pada masa sekarang.

Itulah hasil penting dari kunjunganku ke Barus. Aku memulai perjalanan dari Medan menggunakan kendaraan pribadi ditemani oleh beberapa anggota keluarga besarku. Namun, kami tidak langsung menuju Barus. Kami mampir dulu di Sibolga dan menginap di sini. Besok paginya, barulah kami berangkat ke Barus. Kami butuh dua jam untuk mencapai Barus dari Sibolga. Sebagian perjalanan kami menelusuri pantai yang indah. Perjalanan terasa sangat menyenangkan. Keletihan berkendaraan dari Medan ke Sibolga kemarin terbayar oleh keindahan alam yang kami saksikan. Untuk mencapai Pananggahan dari Barus kami butuh waktu 30 menit. Aku beruntung bisa mancapai makam Syekh Machmudsyah. Dari sini aku bisa dengan bebas melemparkan pandangan ke berbagai arah. Namun, kemana pun arah pandangan itu, ia akan bertemu dengan keindahan alam yang menyejukkan mata. Ini salah satu contohnya:

Keletihan menaiki tangga yang curam segera berganti dengan kepuasan menikmati keindahan alam dan suasana yang tenang. Kebahagiaan segera melingkupi diriku. Hatiku terasa tenteram.  Maka perjalanan ke Barus mendatangkan kepuasan yang beragam, mulai dari kepuasan intelektual, kepuasan batin dan bahkan kepuasan mata. ***

Sibolga, 19 Desember 2023

Author: Ana Nadhya Abrar

Gagal menjadi jurnalis profesional, tapi berhasil meraih jabatan profesor jurnalisme. Itulah peruntungan hidup Prof. Ana Nadhya Abrar, M.E.S., Ph.D. yang dikukuhkan sebagai guru besar Jurnalisme di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 10 Maret 2022. Di samping mengajar jurnalisme, dia juga rajin menulis. Selain ratusan artikel dan kolom untuk media massa, dia juga telah menulis dan menyunting puluhan buku. Penulisan biografi adalah spesialisasinya sebagaimana tergambar dari pidato pengukuhannya sebagai guru besar dengan judul “Menarik Garis Batas Jurnalisme dalam Penulisan Biografi”. -Hasril Caniago

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *