Berita Yang Menghilhami

oleh Ana Nadhya Abrar

Segala puji bagi Allah Swt.

Ada tiga berita yang mengilhami ceramah ini. Ketiga berita itu juga memperlihatkan komunikasi politik yang sedang diperlihatkan oleh pemerintah dan DPR saat ini. Pertama, berita yang dilaporkan Kompas.com, 21 Maret 2023. Berita itu berjudul DPR “Sahkan Perppu Cipta Kerja Jadi UU, Demokrat Interupsi, PKS “Walkout”. Kutipan beritanya seperti ini:

Keputusan itu diambil dalam Rapat Paripurna DPR ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2022-2023, Selasa (21/3/2023), di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat. Ketua DPR Puan Maharani tampak memimpin rapat paripurna. Dirinya didampingi oleh pimpinan DPR lain, seperti Sufmi Dasco Ahmad, Lodewijk F Paulus, dan Rachmat Gobel.

Keputusan DPR ini menunjukkan, DPR egois. Ia tidak menghargai Mahkamah Konstitusi (MK). Kalau manusia yang egois, biasanya tidak cerdas (Mulyatno, 2012). Dia hanya mementingkan diri sendiri. Kalau DPRnya egois, silakan nilai sendiri karakternya. Yang jelas, pada 25 November 2021 MK menolak UU Cipta Kerja dengan nilai: UU Cipta Kerja inkonstitusionalitas bersyarat. Selanjutnya, MK menyebutkan:

Menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan’. Menyatakan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini,” ucap Anwar yang dalam kesempatan itu didampingi oleh delapan hakim konstitusi lainnya.

Dalam putusan yang berjumlah 448 halaman tersebut, Mahkamah juga memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen (https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=17816&menu=2).

Di sini kita bisa menilai, DPR tidak menghargai martabat MK.

Kedua, Laporan Utama Tempo, 26 Maret 2023. Laporan Utama itu terdiri atas tiga berita, yakni “Makcomblang di Pematang Sawah”, “Retak Setelah Panen Raya”, “Siasat Baru Awal Tahun” dan satu infografis berjudul “Kingmaker Ala Jokowi”.  Dalam berita berjudul “Makcomblang di Pematang Sawah”, muncul informasi: Presiden Jokowi menyiapkan Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo sebagai capres dan cawapres untuk mengalahkan Anies Baswedan. Nukilan lengkapnya berbunyi:

Jokowi belum pernah terang-terangan menyatakan dukungan kepada Ganjar. Namun ia beberapa kali menunjukkan sinyal menjagokan Ketua Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada itu. Sejumlah narasumber yang terlibat dalam skenario Presiden menyebutkan bahwa Ganjar, juga Prabowo, disiapkan untuk mengalahkan bekas Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.

Berita yang sama menyebutkan, Presiden Joko Widodo juga mendukung Sandiaga Salahuddin Uno sebagai capres. Nukilan info itu berbunyi:

Tak hanya menyokong Prabowo Subianto, Presiden Joko Widodo disebut juga mendukung tokoh lain. Salah satunya Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Sandiaga Salahuddin Uno, yang berpasangan dengan Prabowo pada Pemilu 2019. Pada Rabu 15 Maret lalu, Sandiaga menemui Jokowi di Istana Negara, Jakarta, selama satu setengah jam.

Berita itu kemudian ditutup dengan info yang mengejutkan:

Seorang pejabat yang beberapa kali diajak berdiskusi oleh Presiden bercerita, Jokowi sebenarnya lebih menginginkan perpanjangan masa jabatan presiden. Namun, jika opsi ini tidak terwujud, Jokowi sangat mempertimbangkan Prabowo dengan Ganjar.

Dalam infografis yang berjudul “Kingmaker ala Jokowi”, muncul kutipan pernyataan Presiden Joko Widodo seperti ini:

Untuk Yusril Ihza Mahendra: “Kalau menyimak apa yang disampaikan Profesor Yusril dengan pengalaman sangat panjang, saya mendukung kalau Prof. Yusril dicalonkan jadi capres dan cawapres.”

Untuk tokoh lain: “Karena di sini hadir semua capres dan cawapres. Yang saya kenal Pak Prabowo, yang saya tahu ada juga Pak Erick Thohir, Pak Sandi (Menteri Pariwisata Sandiaga Uno), ada Pak Mahfud Md. (Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan).

Semua info yang terdokumentasi di majalah Tempo 16 Maret 2023 tersebut di atas menyiratkan satu hal penting: budaya politik kita belum kompatibel dengan demokrasi.

Gejala politik kita masih mengikuti tradisi Jawa. Pusat kekuasaan berada di puncak piramid (Imawan, 1997). Orang berlomba-lomba mendekat ke pusat itu. Pusat kekuasaan memberi angin pada orang yang mendekat. Sehingga orang perlu izin pusat kekuasaan untuk maju. Ini terasa lucu, bukan? Bukankah di antara yang berlomba itu terdapat ketua umum partai politik?

Kalau izin itu tidak ada, atau mereka saling bertengkar, tentu ada alasan pusat kekuasaan untuk meneruskan kekuasaannya. Pada titik ini, pusat kekuasaan akan dengan senang hati melanjutkan kekuasaannya.

Yang menarik adalah, basis kekuasaan pusat kekuasaan itu tetap otoritas legal. Misalnya UU dan hasil Pemilu. Tapi, siapa yang bisa menjamin bahwa UU dan hasil Pemilu itu sesuai dengan kondisi yang sebenarnya?

Ketiga, berita yang disiarkan Detik.com 23 Maret 2023, yang berjudul “Jawaban Menohok BEM UI ke Faldo Usai Disindir Mirip LSM Didanai Asing”. Fokus berita ini pada respons BEM UI ke Faldo Maldini yang menyindir BEM UI didanai asing. BEM UI mempersilakan Faldo membuktikannya. Nukilan persisnya:

Kalau bilang disusupi asing dan sebagainya, silakan dibuktikan saja. Karena BEM UI siap membuktikan semua,” kata Ketua BEM UI Melki Sedek Huang saat dihubungi, Kamis (23/3/2022).

Kecuali itu, berita itu juga menyebutkan kemarahan BEM UI pada DPR. Begini kutipannya:

“Kami rasa DPR sudah tidak pantas lagi menyandang nama Dewan Perwakilan Rakyat dan lebih pantas diganti namanya menjadi Dewan Perampok, Penindas, ataupun Pengkhianat Rakyat. Sebab produk hukum inkonstitusional yang mereka sahkan kemarin jelas merampas hak-hak masyarakat, mengkhianati konstitusi, dan tak sesuai dengan isi hati rakyat,” katanya.

“DPR harusnya menuruti putusan MK untuk memperbaiki UU Cipta Kerja dengan partisipasi bermakna, bukannya malah turut mengamini tindakan inkonstitusional Presiden Jokowi dengan mengesahkan Perppu Cipta Kerja yang menyalahi konstitusi,” tambahnya. (https://news.detik.com/pemilu/d-6634207/jawaan-menohok-bem-ui-ke-faldo-usai-disindir-mirip-lsm-didanai-asing).

Suka atau tidak suka kritik BEM UI terhadap DPR menampakkan ciri DPR sebagai state corporatist. Memang DPR tidak dibentuk oleh pemerintah. Namun, secara nyata ia menjadi alat politik yang menyetempel kebijakan pemerintah. Dalam posisi seperti ini tentu sulit membayangkan terciptanya checks and balances antara pemerintah dan DPR.

Bertolak dari tiga berita di atas, kita bisa mengatakan: (i) DPR egois, tidak menghargai martabat Mahkamah Konstitusi (MK), (ii) budaya politik kita belum kompatibel dengan demokrasi, dan (iii) DPR merupakan state corporatist, menjadi alat politik yang menyetempel kebijakan pemerintah. Inilah sesungguhnya pesan komunikasi politik yang disampaikan media tentang pemerintah dan DPR.

Tentu, menjadikan ini sebagai titik tolak untuk memformulasikan cara mewujudkan pemilih cerdas bermartabat bukanlah sebuah kesalahan apalagi dosa. Ini malah mengilhami kita untuk merencanakan perbuatan baik. Kenapa? Soalnya, setiap kita mendambakan hidup bermartabat dan bermakna bagi masyarakat. Sesungguhnya manusia itu mahkluk bermartabat karena memiliki akal budi. Mereka memahami dan merindukan hal yang baik. Mereka juga memperjuangkan terwujudnya hidup yang baik.

Manusia yang baik menurut Islam adalah yang paling bermanfaat buat manusia lain, sebagaimana terdokumentasi dalam hadis yang berbunyi, “Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad). Namun, berbuat baik itu harus dipraktikkan.

Ketika mempraktikkan berbuat baik untuk negara dalam konteks pemilu, paling tidak kita harus melakukan enam kegiatan, yakni, pertama, kita nilai kontestasi politik, apakah bebas dan fair. Setiap kontestasi politik menarik buat semua calon. Semua calon punya hak yang sederajat untuk mengejarnya. Kalau ada yang calon yang terdiskriminatif, kita berhak untuk menganjurkan agar dieliminasi. Apalagi kalau sejak awal dia sudah menggunakan politik uang!

Kedua, kita coba pahami jalan pikiran calon presiden. Setiap calon presiden punya cara sendiri untuk mewujudkan program-programnya kalau terpilih jadi presiden. Dia juga punya cara sendiri untuk meng-handle situasi. Misalnya, dia lebih mengutamakan berhutang dalam menghadapi masalah ekonomi. Dia lebih memilih menggunakan buzzer untuk memaksakan programnya. Dia lebih suka mendengarkan pembisik daripada melihat realitas di lapangan. Dari sini baru diputuskan kita butuh.

Ketiga, kita mencoba hidup bermoral. Hidup bermoral selalu terkait dengan kegiatan sosial politik. Orang yang bermoral, biasanya mengembangkan hidup bersama secara damai. Dia menolak kekerasan, baik secara fisik maupun ideologis (Mulyatno, 2012).

Keempat, menjaga passion kita dalam berpolitik. Jangan pernah diombang-ambingkan oleh informasi yang mengkerdilkan tokoh A atau B lewat media sosial. Jangan membiarkan diri terjebak pada kebingungan mau memilih siapa? Segera rancang jalan keluar, misalnya dengan mencari konfirmasi ke pihak yang kita percaya.

Kelima, memperluas jaringan kita. Ya kita perlu memperluas jaringan supaya bisa memperoleh informasi yang akurat tentang seluk-beluk pelaksanaan Pemilu, mulai dari aturan, cara memilih, cara penghitungan suara, dan sebagainya. Jangan menganggap enteng saja proses Pemilu. Hasilnya akan menentukan nasib kita lima tahun ke depan.

Keenam, kita tulis profil singkat tokoh-tokoh yang mengikuti kontestasi politik. Dari sana kita bisa membayangkan apa yang bisa dicapai oleh setiap tokoh dalam lima tahun ke depan. Kita sisihkan waktu untuk merenungkan semua tokoh itu. Kalau sudah mantap, baru pilih tokoh yang sesuai dengan kebutuhan politik kita.

Kematian pemilih berawal dari pengabaian terhadap keenam tindakan ini. Kematian pemilih bisa juga dipandang sebagai serangan terhadap kehidupan bernegara yang ideal. Kematian pemilih bisa pula dipandang sebagai muslihat agar otoritas masyarakat diserahkan saja kepada presiden terpilih.

***

Rejodani, 24 Maret 2023